RSS Feed

Senin, 27 Desember 2010

Hukum Menara Masjid

س : يعترض بعض الناس على إنشاء المآذن أصلا ويعتبر ذلك مخالفا للسنة وتبذيرا للمال ، ويرد عليه فريق آخر بأن المآذن أصبحت معلما يشهر المسجد ويدل عليه في وسط البنايات المزدحمة المرتفعة ، وهي تحجب الرؤية من بعيد ، والمسجد بمئذنته السامقة يشعر الكثيرين بأن المسلمين ما زالوا بخير أمام التحديات الكثيرة التي يواجهونها .
Pertanyaan, “Sebagaian orang sama sekali tidak setuju dengan pembangunan menara masjid. Mereka beranggapan bahwa hal itu menyelisihi sunnah dan buang-buang harta secara percuma. Sekelompok orang yang lain membantah anggapan tersebut dengan mengatakan bahwa menara masjid telah menjadi tanda menunjuk adanya masjid di tengah-tengah ramainya bangunan yang tinggi-tinggi. Bangunan-bangunan yang tinggi tersebut seringkali menghalangi terlihatnya masjid dari kejauhan. Masjid dengan menara adzannya yang tinggi menunjukkan kepada banyak orang bahwa kaum muslimin masih dalam kondisi yang baik menghadapi berbagai tantangan”.
ج : لا حرج في إقامة المآذن في المساجد ، بل ذلك مستحب لما فيه من تبليغ صوت المؤذن للمدعوين إلى الصلاة ،
Jawaban Lajnah Daimah, “Tidaklah mengapa membangun menara adzan untuk masjid bahkan hal itu dianjurkan karena dengan adanya menara suara muadzin bisa lebih maksimal terdengar oleh khayalak yang diajak untuk mengerjakan shalat.
ويدل على ذلك أذان بلال في عهد النبي صلى الله عليه وسلم على أسطح بعض البيوت المجاورة لمسجده ، مع إجماع علماء المسلمين على ذلك .
Dalil dibolehkannya adanya menara adzan adalah Bilal di masa Nabi beradzan di loteng rumah yang berada di dekat masjid Nabawi. Dalil kedua adalah kesepakatan kaum muslimin yang membolehkan adanya menara adzan untuk masjid”.
الرئيس – عبد العزيز بن عبد الله بن باز , نائب رئيس اللجنة – عبد الرزاق عفيفي , عضو – عبد الله بن غديان , عضو- عبد الله بن قعود
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz-ketua Lajnah Daimah-, Abdurrazaq Afifi-wakil ketua Lajnah Daimah-, Abdullah bin Ghadayan dan Abdullah bin Qaud.
Sumber:
Fatawa Lajnah Daimah jilid 6 hal 253-255, cet ketiga 1421H terbitan Dar Balansiah Riyadh.
Artikel www.ustadzaris.com

Minggu, 26 Desember 2010

10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru Masehi

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
  1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh Rumaysho.com

[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if  Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.

Selasa, 14 Desember 2010

Bolehkah Mengucapkan Selamat Natal?

Bantahan untuk al Qardhawi yang membolehkan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir
Oleh Syeikh Abdullah bin Umar al Adni
بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة
الحمد لله الذي جعل في كل زمان فترة من الرسل بقايا من أهل العلم يدعون من ضلَّ إلى الهدى ويصبرون منهم على الأذى , يحيون بكتاب الله الموتى ويبصّرون بنور الله أهل العمى فكم من قتيلٍ لإبليس قد أحيوه وكم ضالٍّ تائه قد هدوه فما أحسن أثرهم على الناس وأقبح أثر الناس عليهم كما قال تعالى {وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ * إِن تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي مَن يُضِلُّ وَمَا لَهُم مِّن نَّاصِرِينَ} (36-37) سورة النحل
Segala puji itu hanya menjadi hak Allah. Dialah zat yang memunculkan para ulama yang masih saja tersisa di setiap zaman yang kekosongan rasul. Para ulama tersebut mendakwahi orang yang tersesat kepada hidayah dan mereka bersabar atas berbagai gangguan. Mereka hidupkan dengan kitab Allah orang-orang yang hatinya sudah mati. Mereka perlihatkan cahaya Allah kepada orang yang buta mata hatinya. Betapa banyak korban Iblis yang berhasil mereka selamatkan. Berapa banyak orang yang tersesat dan bingung berhasil mereka tunjuki jalan yang benar. Betapa bagus pengaruh mereka di tengah-tengah manusia dan betapa jelek balasan manusia terhadap mereka. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong” (QS al Nahl:36-37).
ينفون عن كتاب الله تحريف الغالين وانتحال المبطلين وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم خير من دعا إلى الهدى وردَّ الباطل والردى القائل { يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين } “حديث حسن ذكره الخطيب في (شرف أصحاب الحديث) عن جماعة من الصحابة ”
Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna al Qur’an yang dilakukan oleh orang-orang yang berlebih-lebihan dan pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh para sahabatnya. Beliau adalah sebaik-baik orang yang mengajak kepada hidayah dan membantah kebatilan yang hina. Beliaulah yang mengatakan, “Ilmu agama ini akan selalu dipikul oleh orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Mereka mengingkari otak-atik yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas, kepalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan dan tafsir asal-asalan yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh”.
Hadits ini derajatnya hasan dan disebutkan oleh al Khatib al Baghdad dalam buku beliau Syaraf Ashhabul Hadits dari sejumlah sahabat.
, هؤلاء الغالين والمبطلين والجاهلين الذين عقدوا ألوية البدعة وأطلقوا عقال الفتنة وهم مختلفون في الكتاب مخالفون للكتاب مجمعون على مفارقة الكتاب يقولون على الله وفي الله وفي كتاب الله بغير علم يتكلمون بالمتشابه من الكلام ويخدعون جهَّال الناس بما يشبَّهون عليهم فنعوذ بالله من فتن الضالين المضلين .
Mereka orang-orang yang berlebih-lebihan, pembela kebatilan dan orang-orang bodohlah yang mengibarkan bendera bid’ah dan menebar kesesatan. Mereka sendiri berselisih pendapat dalam memahami al Qur’an, menyelisihi ajaran al Qur’an dan bersepakat untuk meninggalkan ajaran al Qur’an. Mereka berkata-kata tentang Allah dan atas nama Allah serta tentang kitab Allah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat rancu dan mereka menipu manusia yang bodoh dengan kerancuan pemahaman yang mereka sisipkan dalam kata-kata mereka.
Kita berlindung kepada Allah dari penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan.
وصدق النبي صلى الله عليه وسلم إذ يقول ( إن الله لا يقبض هذا العلم انتزاعاً ينتزعه من صدور الناس ولكن بقبض العلماء حتى إذا لم يبقِ عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا ) رواه البخاري ومسلم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما .
Sungguh benar yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Sesungguhnya Allah itu tidak akan mencabut ilmu agama dengan seketika dari dada manusia, namun dengan cara mematikan orang-orang yang berilmu. Sehingga jika Allah tidak lagi menyisakan seorang pun yang berilmu maka manusia mengangkat para pemimpin dalam agama dari kalangan orang-orang yang bodoh. Para pemimpin tersebut mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan orang lain” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr).
ومن هؤلاء الذين أضلوا الناس يوسف القرضاوي الذي كثرت فتاواه المخالفة لنصوص الكتاب والسنة وفهم سلف الأمة وتتابعت آراءه العقلانية وانتشرت مواقفه بما يخدم أعداء المسلمين ويُذهب جمال وصفاء هذا الدين , ومن تلك الضلالات فتوى له يجيز فيها تهنئة الكفار من اليهود والنصارى في أعيادهم .
Di antara yang menyesatkan banyak manusia adalah Yusuf al Qardhawi yang memiliki banyak fatwa yang menyelisihi dalil dari al Qur’an dan sunah dengan pemahaman salaf. Silih berganti munculnya pendapat-pendapatnya yang lebih mengedepankan akal dan tersebarlah berbagai sikap-sikapnya yang malah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin dan menghilangkan indah dan jernihnya agama ini. Di antara kesesatan tersebut adalah fatwanya yang memperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir baik Yahudi ataupun Nasrani.
وذلك حين أجاب عن سؤال نصه : ماهي حدود التعامل مع النصارى وما حكم تهنئتهم في أعيادهم ؟ فأجاب بكل جرأة معارضاً لنصوص الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه فلا حياء من الله ولا من خلقه
Fatwa tersebut muncul ketika beliau menjawab sebuah pertanyaan sebagai berikut, “Apa saja batasan interaksi dengan orang-orang Nasrani dan apa hukum mengucapkan selamat hari raya kepada mereka?”. Dengan penuh kelancangan beliau memberi jawaban yang bertolak belakang dengan berbagai dalil dari al Qur’an dan sunah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak dari ahli tafsir, hadits dan fiqh. Sungguh tidak ada rasa malu terhadap Allah dan terhadap manusia.
,فيقول  ( ولذلك لا مانع من تهنئتهم بأعيادهم ) بل ويستدل على ذلك كذباً وزوراً ( ويراجع فتواه في موقع إسلام أون لاين  ) .
Jawaban beliau, “Oleh karena itu tidak mengapa mengucapkan selamat hari raya kepada mereka”. Bahkan lebih parah lagi beliau mencari-cari dalil untuk mendukung pernyataan tersebut dengan kedustaan dan kepalsuan. Fatwa beliau bisa dilihat di situs Islamonline.
فننبه أولاً أن الواجب على المسلم أن يستسلم لدين الله Y الذي أنزله إلى خلقه وأمرهم به ولا يقبل منهم سواه وهو دين الإسلام كما قال تعالى {وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} (85) سورة آل عمران .
Perhatikanlah, kewajiban seorang muslim adalah tunduk terhadap aturan Allah yang telah Allah turunkan kepada makhluknya dan Allah perintahkan makhluk untuk mengamalkannya. Allah tidak menerima agama selain agama tersebut. Itulah agama Islam sebagaimana firman Allah yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran:85).
والإسلام هو كل ما دُعيَ الناس إليه مما في كتاب ربنا وما في صحيح سنة نبينا r بفهم سلف هذه الأمة الصالحين كما قال تعالى {اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ} (3) سورة الأعراف .
Islam adalah segala yang didakwahkan kepada manusia dan hal tersebut ada dalam al Qur’an atau terdapat dalam hadits yang sahih dengan pemahaman salaf shalih sebagaimana firman Allah yang artinya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS al A’raf:3).
وكما قال تعالى {فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ } (137) سورة البقرة
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS al Baqarah:137).
وقال تعالى { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا}(3) سورة المائدة .
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS al Maidah:3).
فلا عقيدة إلا عقيدة الإسلام ولا عبادة إلا عبادة الإسلام ولا منهاج إلا منهاج الإسلام ولا خُلق إلا خُلق الإسلام , فلا يجوز لمسلم بعد ذلك المعارضة بعاطفة أو عقل أو ذوق أو رأي بل الواجب الاستسلام التام كما قال تعالى {فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا} (65) سورة النساء,
Tidak ada akidah yang benar melainkan akidah Islam. Tidak ada ibadah yang benar melainkan ibadah yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada jalan hidup yang benar melainkan jalan yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada akhlak mulia melainkan akhlak yang diajarkan oleh Islam. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk membantah ajaran Islam dengan perasaan, akal pikiran, rasa dan pendapat siapapun. Kewajiban seorang muslim adalah tunduk total kepada ajaran Islam sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS an Nisa’:65).
ولا نكون من المنافقين الذين من خُلقهم الإعراض عن دين الله كما قال تعالى {وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا}(61) سورة النساء.
Janganlah kita meniru orang-orang munafik yang memiliki karakter berpaling dari agama Allah sebagaimana firman Allah yang artinya, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” (QS an Nisa’:61).
وننبه ثانياً : بأنه لا يجوز للمسلم معارضة الشرع بعقله ورأيه فإنه سبب لفساد الدين والدنيا ,
Yang kedua, tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentang syariat dengan akal dan pendapatnya karena sikap inilah yang menyebabkan rusaknya agama dan dunia.
قال ابن القيم رحمه الله ( وكل من له مسكة من عقل يعلم أن فساد العالم وخرابه إنما نشأ من تقديم الرأي على الوحي ومن أعظم معصية العقل اعراضه عن كتاب الله ووحيه الذي هدى به رسله والمعارضة بينه وبين كلام غيره فأي فساد أعظم من فساد هذا العقل )
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Dan semua orang yang masih memiliki sedikit akal sangat sadar bahwa kerusakan dan kehancuran alam semesta itu disebabkan mendahulukan akal pikiran dari pada wahyu. Di antara maksiat terbesar yang dilakukan oleh akal adalah berpalingnya akal dari kitab Allah dan wahyu-Nya padahal wahyu adalah alat yang dipergunakan oleh para rasul untuk membimbing manusia. Demikian pula termasuk maksiat akal adalah mempertentangkan wahyu dengan ucapan manusia. Kerusakan apakah yang lebih parah dibandingkan kerusakan akal semacam ini”.
وعن ابن عباس t إنما هو كتاب الله وسنة رسوله r فمن قال بعد ذلك برأيه فلا ندري أفي حسناته يجد ذلك ام في سيئاته )
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Dalil dalam agama itu hanya kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Barang siapa yang berkata dengan akal pikiran setelah adanya dalil maka kami tidak tahu apakah hal tersebut akan dia jumpai dalam catatan kebaikannya atau dalam catatan dosanya”.
ومن هؤلاء الذين يعارضون الدين بالعقل القرضاوي وشيوخه فهي سلسلة من مشايخ أهل الرأي والبدعة ينقل بعضهم عن بعض
Di antara orang yang mempertentangkan agama dengan akal adalah al Qardhawi dan guru-gurunya yang merupakan rangkaian guru-guru ahli bid’ah dan orang-orang yang mendahulukan akal pikirannya. Sebagian mereka sekedar mengutip pendapat yang lain.
ومن ذلك إعراضه عن حديث النبي r { أبي وأبوك في النار } رواه مسلم عن أنس t . قال القرضاوي: بعده في كتابه ” كيف نتعامل مع السنة 97-98″ ( ما ذنب عبدالله بن عبد المطلب حتى يكون في النار ) وقال عنده ( ما ذنب أبي الرجل السائل والظاهر أن أباه مات قبل الإسلام لهذا توقفت في الحديث حتى يظهر لي شيء يشفي الصدر أما شيخنا الشيخ محمد الغزالي فقد رفض الحديث صراحة …)
Di antara penyimpangannya adalah sikap berpalingnya dari hadits, “Ayahku dan ayahmu itu di neraka” (HR Muslim dari Anas). Setelah membawakan hadits ini di bukunya “Kaifa Nata-‘amal Ma’a al Sunah” hal 97-98 beliau mengatakan, “Apa dosa Abdullah bin Abdul Muthallib sehingga dia di neraka?”. Beliau juga mengatakan, “Apa dosa yang dimiliki oleh ayah si penanya padahal kemungkinan besar ayahnya itu meninggal sebelum datangnya Islam. Oleh karena itu aku tidak berani mengambil sikap terhadap hadits tersebut sampai kujumpai penjelasan yang memuaskan. Sedangkan guru kami Syeikh Muhammad al Ghazali telah menolak hadits tersebut dengan terang-terangan”.
فانظر رحمك الله إلى هذه العقيدة الصوفية والطريقة البدعية فقد جعل العقل هو الأصل فما قبله فهو مقبول وما لم يقبله فهو مردود ولا يخفى على مسلم فساد هذا القول
Perhatikanlah- semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu- akidah sufi dan cara beragama bid’ah yang ada dalam sikap beliau terhadap hadits ini yaitu menjadikan akal sebagai tolak ukur. Semua yang diterima akal itulah perkataan yang diterima. Sedangkan segala yang ditolak oleh akal maka itulah perkataan yang tertolak. Setiap muslim tentu sadar betapa berbahayanya prinsip beragama semacam ini.
ورضي الله عن علي إذ يقول ( لو كان الدين بالرأي لكان مسح أسفل الخف أولى من أعلاه ) .
Semoga Allah melimpahkan ridho-Nya kepada Ali yang pernah mengatakan, “Seandainya dasar dalam beragama adalah akal pikiran tentu lebih layak mengusap bagian bawah sepatu dari pada bagian atasnya”.
ومن هذا القبيل فتوى القرضاوي الزائغة في جواز تهنئة الكفار في أعيادهم معرِضاً وغير مبالي بالأدلة الكثيرة من الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه ما كان إجماعاً لايجوز الخروج عنه ومخالفته .
Di antara perkataan al Qardhawi yang menyimpang adalah fatwa beliau yang menyimpang tentang bolehnya memberikan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir. Dengan fatwa ini, beliau tidak ambil pusing dan tidak peduli dengan berbagai dalil yang banyak berupa ayat al Qur’an, sunah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang sangat banyak baik dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fiqh. Bahkan hal ini telah menjadi ijma ulama yang kita tidak boleh keluar dan menyelisihinya.
فمن أدلة الكتاب الكثيرة  قول الله تعالى {وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا} (72) سورة الفرقان
Di antara dalil berupa ayat al Qur’an yang sebenarnya banyak adalah firman Allah yang artinya, “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan dan jika mereka melewati sesuatu yang sia-sia mereka lewat sebagaimana layaknya orang-orang yang mulia” (QS al Furqon:72).
, وعن ابن عباس و مجاهد والربيع بن أنس وعكرمة والضحاك  قالوا هو ( أعياد المشركين ) رواها الخلال في جامعه ونحوه ابن جرير و القرطبي في تفسيريهما وأبو الشيخ الأصبهاني
Ibnu Abbas, Mujahid, ar Rabi’ bin Anas, Ikrimah dan al Dhahhak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan azzuur atau kebatilan adalah hari raya orang-orang musyrik. Keterangan para pakar tafsir di atas diriwayatkan dengan bersanad oleh al Khallal dalam kitabnya al Jami’. Riwayat-riwayat serupa juga dibawakan oleh Ibnu Jarir dan al Qurthubi dalam kitab tafsir keduanya. Demikian pula Abu Syaikh al Ashfahani.
وعن عمرو بن مرة (لا يشهدون الزور قال لا يمالئون أهل الشرك على شركهم ولا يخالطونهم ) ونحوه عن عطاء بن يسار والتهنئة من الممالئة.
Dari Amr bin Murrah tentang makna ayat, “Mereka itu tidak ikut menyaksikan kebatilan” adalah “Mereka tidak memberi dukungan kepada pelaku kemusyrikan ketika mereka melakukan kemusyrikan dan tidak pula berbaur bersama mereka ketika itu”. Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Atha bin Yasar. Ucapan selamat hari raya itu termasuk dukungan.
ومن السنة الكثيرة ما رواه أبو داود وغيره بإسناد حسن عن أنس رضي الله عنه قال قدم رسول الله r المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله r { إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما يوم الأضحى ويوم الفطر }
Di antara dalil dari sunah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang berkualitas hasan dari Anas. Anas mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di kota Madinah penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka isi dengan berbagai permainan. Nabi bertanya, “Dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, “Kami biasa bermain pada dua hari ini di masa jahiliyyah”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri”.
وقد أبطل النبي r كل الأعياد إلا هذين العيدين , فكيف يهنى الكفار في أعياد باطلة.
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghapus semua bentuk hari raya selain dua hari raya Islam lalu bagaimana mungkin diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir berkenaan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.
ومن كلام السلف ما سبق من تفسير الآية وفي كتاب عمر t إلى أهل الذمة الذي تلقته الأمة بالقبول فهو إجماع المسلمين الأولين والآخرين وهو قول الخليفة الثاني من الخلفاء الراشدين وفيه نهي أهل الذمة عن إظهار شيء من أعيادهم وانظر إلى تعليق وشرح الإمام ابن القيم رحمه الله له في أحكام أهل الذمة (2/659)  .
Di antara perkataan para ulama salaf dalam masalah ini adalah para salaf yang menafsirkan ayat di atas. Demikian pula surat Umar untuk para kafir dzimmi yang telah diterima oleh seluruh umat Islam sehingga isi surat Umar tersebut adalah ijma seluruh kaum muslimin baik yang hidup di masa silam ataupun masa sesudahnya. Surat tersebut adalah perkataan khalifah kedua dari empat khulafaur rasyidin. Di antara isi surat tersebut adalah larangan bagi kafir dzimmi untuk menampakkan syiar hari rayanya. Bacalah penjelasan dan komentar Imam Ibnul Qoyyim untuk surat Umar tersebut di buku beliau, Ahkam Ahli Dzimmah 2/659.
وعن عمر t قال ( اجتنبوا أعداء الله في عيدهم ) رواه البيهقي باب كراهة الدخول على أهل الذمة في كنائسهم والتشبه بهم يوم نيروزهم ومهرجانهم بإسناده عن البخاري صاحب الصحيح يصل به إلى عمر t .
والنيروز :عيد القبط في مصر وهو أول يوم في السنة القبطية ويسمى بيوم ( شم النسيم ) .
Umar berkata, “Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” [Diriwayatkan oleh al Baihaqi di bawah judul bab ‘terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka’ dengan sanadnya dari al Bukhari, penulis kitab Sahih Bukhari sampai kepada Umar].
Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini disebut juga Syamm an Nasim.
فإذا أُمِرَنا بإجتناب أعيادهم ومُنِعُوا من إقامة أعيادهم فكيف يجوز تهنئتهم !!!.
Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.
وأما كلام أهل العلم المتواتر فقد سبق بعض ذلك ونحوه كثير في كتب التفسير والفقه والحديث مما يصعب جمعه خصوصاً في تفسيرهم وشرحهم وتعليقهم على الأدلة الكثيرة في هذا الباب .
Sedangkan penjelasan para ulama yang demikian banyak, sebagian perkataan mereka telah dikutip di atas. Perkataan yang senada sangat banyak, terdapat di buku-buku tafsir, fiqh dan hadits sehingga tidaklah mudah mengumpulkannya terutama ketika para ulama menjelaskan, menafsirkan dan memberi komentar terhadap berbagai dalil yang ada dalam masalah ini.
ومما يضاف تأكيداً ما ذكره الخلال في جامعه قال “بابٌ في كراهة خروج المسلمين في أعياد المشركين” … ألخ . فكيف بعد هذا يجوز أن نهنئ المشركين في أعيادهم الباطلة .
Sebagai penguat tambahan adalah judul bab yang dibuat oleh al Khalal dalam kitabnya al Jami. Beliau mengatakan, “Bab terlarangnya kaum muslimin untuk keluar rumah pada saat hari raya orang-orang musyrik…”. Setelah penjelasan di atas bagaimana mungkin kita diperbolehkan untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang musyrik berkaitan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.
ونقل شيخ الإسلام رحمة الله تعالى في كتابه ” الإقتضاء 1/454″ اتفاق الصحابة وسائر الفقهاء على ما جاء في شروط عمر t أن أهل الذمة من أهل الكتاب وغيرهم لا يظهرون أعيادهم … فإذا كان المسلمون قد اتفقوا على منعهم من إظهارها فكيف يسوغ للمسلمين فعلها فإن فعل المسلم أشد من فعل الكافر … أهـ بمعناه .
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, al Iqtidha’ 1/454 menukil adanya kesepakatan para sahabat dan seluruh pakar fikih terhadap persyaratan Umar untuk kafir dzimmi. “Di antaranya adalah kafir dzimmi baik ahli kitab maupun yang lain tidak boleh menampakkan hari raya mereka… Jika kaum muslimin telah bersepakat untuk melarang orang kafir menampakkan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin seorang muslim diperbolehkan untuk menyemarakkan hari raya orang kafir. Tentu perbuatan seorang muslim dalam hal ini lebih parah dari pada perbuatan orang kafir..”.
وقال تلميذه الامام ابن القيم رحمه الله في ” أحكام أهل الذمة (2/722)” في سياق كلامه على أعياد المشركين “وكما أنهم لا يجوز لهم إظهاره فلا يجوز للمسلمين ممالاتهم عليه ولا مساعدتهم ولا الحضور معهم بإتفاق أهل العلم الذين هم أهله وقد صرح به الفقهاء من أتباع الأئمة الأربعة في كتبهم”
Sedangkan murid Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah 2/722 ketika membahas hari raya orang-orang musyrik mengatakan, “Sebagaimana mereka tidak diperbolehkan menampakkan (baca:menyemarakkan) hari rayanya maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menyokong dan membantu mereka, tidak pula menghadiri perayaan hari raya mereka. Ini adalah kesepakatan para ulama yang merekalah pakar dalam masalah ini. Hal ini pun telah ditegaskan oleh para ulama empat mazhab dalam buku-buku mereka”.
ومن كلام أهل العلم في ذلك ما ذكره صاحب الدر المختار علاء الدين الحصكفي (6/754) “والإعطاء باسم يعظمه المشركون يكفر” ثم ذكر نقلاً عن أبي حفص الكبير في عدم جواز الأخذ والعطاء والإهداء والشراء باسم أيام المشركين فإنه قد يوقع في الكفر بتعظيم هذا العيد” أهـ بمعناه
Di antara perkataan para ulama dalam masalah ini adalah perkataan penulis kitab al Durr al Mukhtar yaitu ‘Ala-uddin al Hashkafi 6/754, “Memberi sesuatu dengan atas nama sesuatu yang diagungkan oleh orang-orang musyrik itu merupakan perbuatan kekafiran”. Kemudian beliau menyampaikan perkataan Abu Hafsh al Kabir yang “tidak membolehkan mengambil atau memberi suatu barang, demikian pula menghadiahkan atau membeli atas nama hari raya orang musyrik. Seorang muslim yang melakukannya boleh jadi terjerumus dalam kekafiran karena mengagungkan hari raya orang musyrik”.
وذكر في البحر الرائق (8/55) “أن من أهدى بيضةً في أعياد المشركين تعظيماً للعيد كفر بالله جلَّ وعلا ”
Dalam kitab al Bahr al Ra-iq 8/55, “Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada seseorang pada hari raya orang musyrik karena mengagungkan hari raya orang kafir maka dia telah kafir kepada Allah”.
وذكر صاحب عون المعبود (3/341) ” عن القاضي أبي المحاسن الحسن بن منصور الحنفي أن من اشترى فيه شيئاً لم يكن يشتريه في غيره أو أهدى فيه هدية فإن أراد بذلك تعظيم اليوم كما يعظمه الكفره فقد كفر وإن أراد بالشراء التنعم والتنزه وفي الإهداء التحاب جرياً على العادة لم يكن كفراً لكنه كان مكروه كراه التشبه بالكفرة فحينئذٍ يحترز عنه”
Penulis kitab ‘Aun al Ma’bud 3/341 menyebutkan dari “al Qadhi Abul Mahasin al Hasan bin Manshur al Hanafi bahwa siapa saja yang pada saat hari raya orang kafir membeli sesuatu yang biasanya tidak dia beli di hari-hari yang lain atau memberikan hadiah pada hari tersebut maka jika maksudnya dengan hal tersebut adalah mengagungkan hari raya orang kafir sebagaimana pengagungan orang-orang kafir maka dia menjadi kafir karenanya.
Namun jika maksudnya dengan membeli barang tersebut pada waktu itu adalah ingin mengambil manfaat barang tersebut dan maksud hatinya dengan memberi hadiah adalah mewujudkan rasa cinta sebagaimana biasanya maka tidak kafir akan tetapi terlarang karena menyerupai orang kafir. Karenanya hal ini harus dijauhi”.
ونقل شيخ الإسلام عن عبد الملك بن حبيب أن الإمام مالك رحمه الله كره وحرم الأكل من ذبائح أعياد المشركين من النصارى وغيرهم .
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah membawakan perkataan Abdul Malik bin Habib bahwa Imam Malik membenci dan mengharamkan memakan sembelihan dalam rangka hari raya orang musyrik baik Nasrani ataupun yang lainnya.
ونقل عن ابن القاسم النهي عن مشاركة المشركين في الركوب في السفن التي توصل إلى عيدهم أو أن يعانوا بأي أنواع المعونة وأنه قول مالك” إنتهى مختصراً “الإقتضاء” .
Ibnu Taimiyyah juga mengutip perkataan Ibnul Qosim yang melarang seorang muslim satu kapal dengan orang-orang musyrik yang akan mengantarkan mereka ke tempat perayaan hari raya mereka. Demikian pula seorang muslim dilarang memberikan bantuan apapun untuk kegiatan hari raya orang musyrik. Kata Ibnul Qosim hal ini adalah pendapat Imam Malik. Sekian kutipan dari kitab al Iqtidha dengan sedikit peringkasan.
وذكر البيهقي رحمه الله في “سننه” باباً في النهي عن الدخول على أهل الذمة وغيرهم في أعيادهم وذكر آثاراً سبقت الإشارة إليها .
Al Baihaqi dalam kitabnya As Sunan mengatakan ‘bab terlarangnya menemui orang kafir dzimmi atau yang lain saat hari raya mereka’. Beliau lantas menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf yang telah disebutkan di atas.
وذكر الحافظ ابن حجر حديث أنس المتقدم في الإكتفاء بعيدي الفطر والأضحى بعد أن ذكر أنه روي بإسناد صحيح , قال واستنبط منه كراهة الفرح في أعياد المشركين والتشبه بهم وبالغ الشيخ أبو حفص الكبير النسفي من الحنفية فقال : “من أهدى فيه بيضة إلى مشرك تعظيماً لليوم فقد كفر بالله تعالى”(2/442) ,
Al Hafiz Ibnu Hajar setelah menyebutkan hadits dari Anas di atas tentang mencukupkan diri dengan dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dan setelah mengatakan bahwa sanad hadits tersebut berkualitas sahih beliau mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syeikh Abu Hafsh al Kabir al Nasafi seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Fathul Bari 2/442).
وذكر المناوي في “فيض القدير” (4/511) حديث أنس ثم ذكر النهي عن تعظيم يوم عيد المشركين وأن من عظمه لليوم كفر وكلاماً بمعناه . إنتهى بتصرف.” .
Dalam Faidh al Qadir 4/551, setelah al Munawi menyebutkan hadits dari Anas kemudian beliau menyebutkan terlarangnya mengagungkan hari raya orang musyrik dan barang siapa yang mengagungkan hari tersebut karena hari itu adalah hari raya orang musyrik maka dia telah kafir.
فبعد هذا كيف يجوز لمسلم القول بجواز تهنئة الكفار في أعيادهم فضلاً عمن ينتسب إلى العلم كالقرضاوي فماذا بعد الحق إلا الضلال !! .
فاحذر أخي المسلم – رحمك الله – من دعاة السوء والضلال الذين حذّر منهم النبي rوأنهم يكونون في آخر الزمان كما في حديث حذيفة في الصحيحين.
Setelah penjelasan di atas, bagaimana mungkin boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan bolehnya mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang kafir terlebih-lebih seorang muslim yang dinilai berilmu semisal al Qardhawi. Tidak ada setelah kebenaran melainkan kesesatan.
Waspadalah saudaraku dengan dai jahat yang mendakwahkan kesesatan. Nabi telah mengingatkan kita dengan adanya orang-orang semacam itu di akhir zaman nanti sebagaimana dalam hadits dari Hudzaifah yang terdapat dalam Sahih al Bukhari dan Sahih Muslim.
واعلم – رحمك الله – أن دعاة الضلال يستدلون بأدلة  ويلبسون بشبه ولهذا أُمِرنا باعتزالهم لا لعجز أهل الحق في الرد عليهم ولكن حفظاً على سلامة عامة المسلمين فالقلوب ضعيفة والشبهة خطافة .
Sadarilah bahwa para penyeru kesesatan tentu membawakan berbagai alasan dan mengkaburkan permasalahan dengan berbagai kerancuan pemikiran. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menjauhi mereka bukan karena pembela kebenaran tidak mampu memberikan bantahan akan tetapi dalam rangka menjaga keselamatan agama umumnya kaum muslimin. Hati itu lemah sedangkan kerancuan pemahaman itu demikian kuat menyambar.
ويجمل ما استدل به القرضاوي في فتواه بثلاثة أمور :
الأول : استدلاله بعمومات وإجمالات لا يصح الإستدلال بعمومها ومجملها مع ما ورد من النصوص الخاصة ما يمنع هذا العموم والإجمال مما سبق الإشارة إليه من أدلة الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه , بل هذه طريقة أهل البدع فهم الذين يعارضون النصوص الصريحة الخاصة بالأدلة العامة والمجملة كما روي ذلك عن الإمام أحمد –رحمه الله تعالى – وحذر منه
Secara umum dalam fatwanya al Qardhawi membawakan tiga jenis alasan.

Pertama, dalil-dalil yang bersifat umum dan global padahal tidak boleh beralasan dengan dalil yang bersifat umum dan global ketika ada dalil khusus yang membatasi dalil yang umum dan menjelaskan dalil yang masih global. Itulah dalil-dalil yang telah kita sebutkan di atas berupa dalil al Qur’an, sunah, perkataan salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fikih.
Bahkan metode ini adalah metode yang ditempuh oleh ahli bid’ah. Merekalah orang yang suka mempertentangkan dalil-dalil khusus dan tegas dengan dalil-dalil yang bersifat umum dan global sebagaimana yang dikatakan dan diingatkan oleh Imam Ahmad.
فمن الأدلة العامة والمجملة التي استدل بها قول الله تعالى {لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ } (8) سورة الممتحنة
Di antara dalil umum dan global yang beliau gunakan adalah firman Allah yang artinya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS al Mumtahanah:8).
, فجعل من ذلك تهنئة الكفار في أعيادهم مع أن الله Y يقول في أول هذه السورة , {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءكُم مِّنَ الْحَقِّ } (1) سورة الممتحنة
Al Qardhawi menjadikan ucapan selamat hari raya sebagai bagian dari berbuat baik dengan orang kafir padahal Allah berfirman di awal surat yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu” (QS al Mumtahanah:1).
, قال الشوكاني رحمه الله تعالى ( الآية تدل على النهي عن موالاة الكفار بوجه من الوجوه ) “فتح القدير 5/207″
Dalam Fathul Qadir 5/207 al Syaukani mengatakan, “Ayat ini menunjukkan larangan memberikan loyalitas kepada orang kafir dengan bentuk apapun”.
, وقال ابن كثير رحمه الله تعالى ( نهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين أن يوالوا الكافرين وأن يتخذوهم أولياء يسرون إليهم بالمودة من دون المؤمنين ) “آية 28 سورة آل عمران “. فكيف إذا أضيف ما سبقت الإشارة إليه.
Ketika menjelaskan QS Ali Imran:28, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teman dekat, tempat menceritakan berbagai rahasia karena mencintai mereka dengan meninggalkan orang-orang yang beriman”. Bagaimana jika kita tambah dengan dalil-dalil di atas.
ثانياً : استدلاله بأقيسة ضعيفة ومعارضة للنصوص الصريحة مما دلت عليه أدلة الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه . ومن ذلك قياسه تهنئة الكفار بجواز الزواج من نساء أهل الكتاب مع أن الله تعالى قال {لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ } (22) سورة المجادلة
Kedua, al Qardhawi beralasan dengan analog yang lemah dan analog yang bertolak belakang dengan berbagai dalil dari al Qur’an, sunah, perkataan para salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik pakar tafsir, hadits maupun fikih.
Di antaranya beliau menganalogkan ucapan selamat hari raya orang kafir dengan bolehnya menikahi wanita ahli kitab padahal Allah telah berfirman yang artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS al Mujadidlah:22).
, وقد نبه العلماء أن المحبة أقسام والمراد بجواز النكاح ليس مودة ومحبة على حساب الأحكام الشرعية فكيف إذا انضاف ما سبقت الإشارة إليه من عدم جواز هذه التهنئة
Para ulama telah mengingatkan bahwa rasa cinta itu ada beberapa macam. Yang dimaksud dengan diperbolehkannya menikahi wanita ahli kitab bukanlah karena adanya rasa cinta kepada orang kafir yang mengorbankan hukum-hukum syariat. Bagaimana jika ditambah berbagai dalil tentang tidak bolehnya mengucapkan selamat untuk hari raya orang kafir sebagaimana telah disebutkan di atas.
والقياس كالتيمم إنما يلجئ إليه إذا لم يعلم الدليل ولهذا قال الإمام أحمد ( وليس في السنة قياس ولا تضرب لها الأمثال ولا تدرك بالعقول والأهواء وإنما هو الإتباع وترك الهوى )
Analog itu seperti tayamum, hanya dipakai jika tidak diketahui adanya dalil dalam masalah tersebut. Oleh karena itu Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada analog dalam sunah dan tidak boleh membuat berbagai permisalan untuk membantah sunah. Sunnah tidaklah bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu namun hanya bisa dipahami dengan mengikuti sunah dan meninggalkan hawa nafsu”.
, وفي رواية الميموني عن الإمام أحمد رحمه الله ( يجتنب المتكلم في الفقه هذين الأصلين المجمل والقياس )
Dalam riwayat dari al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Seorang yang hendak bicara tentang hukum fikih hendaknya menjauhi dua hal ini yaitu dalil global dan analog”.
وفي رواية أبي الحارث عن الإمام أحمد رحمه الله ( قال ما تصنع بالرأي والقياس وفي الحديث ما يغنيك عنه ) “المسودة 328″
Dalam riwayat dari Abu al Harits, Imam Ahmad mengatakan, “Apa yang akan kau lakukan dengan akal pikiran dan analog padahal hadits sudah mencukupimu” [Kutipan-kutipan ini ada di kitab al Muswaddah hal 328).
وبوب البخاري رحمه الله في صحيحه ” باب ما يذكر من ذم الرأي وتكلف القياس وذكر قول الله تعالى { ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤلاً }” وذكر حديث عبدالله بن عمرو في موت العلماء وظهور علماء السوء نعوذ بالله منهم
Dalam kitab Sahihnya al Bukhari membuat judul bab, ‘bab celaan terhadap akal pikiran dan analog yang dipaksa-paksakan’.
Bukhari lantas membawakan firman Allah yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS al Isra:36). Al Bukhari juga menyebutkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr tentang matinya para ulama dan munculnya para ulama yang jahat. Semoga Allah lindungi kita dari bahaya mereka.
, فإذا كان هذا كلام أهل العلم في القياس مع وجود الدليل فكيف إذا عورض به الدليل وكيف إذا كان من أضعف أنواع الأقيسة فإن هذا النوع من القياس أشبه ما يكون بقياس الشبه الذي هو من أضعف أنواع الأقيسة وهو القياس بغير علة أو دليلها ويراجع ” الإعلام لإبن القيم 1/148″.
Demikianlah perkataan para ulama tentang berdalil dengan analog padahal ada dalil yang menyelisihi kesimpulan analog tersebut lalu bagaimana jika analog yang dipakai adalah analog yang paling lemah. Analog yang dipakai oleh al Qardhawi itu mirip dengan qiyas syabah (analog karena sekedar ada kemiripan). Qiyas syabah adalah jenis qiyas yang paling lemah karena di sini qiyas yang terjadi adalah qiyas tanpa ‘illah atau dalil ‘illah. Silahkan telaah al I’lam karya Ibnul Qoyyim 1/148.
ثالثاً : استدلالات عجيبة خارجة عن القواعد العلمية فضلاً عن الضوابط الشرعية كقوله ( ويشبه هذا التعبير قوله تعالى في شأن الصفا والمروة … ألخ .
Ketiga, terdapat beberapa cara berdalil yang aneh yang keluar dari koridor ilmiah dan tentu sangat jauh dari kaedah syariat. Di antaranya beliau mengatakan, “Ucapan selamat hari raya orang kafir itu mirip dengan firman Allah tentang bukit Shafa dan al Marwa…”
فسبحان الله ! كيف يريد أن يجمع بين ما لا يمكن جمعه تكثيراً للشبه واستجابةً للهوى ومسايرة للواقع وإلا فما علاقة ما أشار إليه بتهنئة الكفار في أعيادهم
Subhanallah, bagaimana beliau berupaya untuk menyerupakan dua hal yang tidak mungkin serupa dalam rangka untuk memperbanyak kerancuan pemahaman, merespons hawa nafsu dan agar seiring dengan realita. Jika bukan karena motivasi tersebut lalu apa hubungan antara pernyataannya di atas dengan ucapan selamat hari raya orang kafir.
, وانظر – رحمك الله – إلى كلام أهل الصدق والاستجابة والغيرة, قال ابن القيم – رحمه الله – ( معلوم أن التقاة ليست بموالاة ولكن لما نهاهم عن موالاة الكفار اقتضى ذلك معاداتهم والبراء منهم ومهاجرتهم بالعدوان في كل حال إلا إذا خافوا من شرهم فأباح لهم التقية وليست التقية موالاة لهم ) “بدائع الفوائد 3/69″ فكيف بعد هذا يستدل بهذه الاستدلالات العجيبة بما ينافي العقل والدين , لهم الله هؤلاء المتلاعبون بدين الله .
Perhatikanlah perkataan seorang yang tulus, menyambut seruan Allah dan seorang yang memiliki kecemburuan dengan agamanya berikut ini.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Taqiyyah dengan orang kafir itu tidak termasuk loyal dengan orang kafir. Akan tetapi ketika Allah melarang memberikan loyalitas dengan orang kafir maka konsekuensinya adalah memusuhi dan berlepas tangan dari orang kafir serta meninggalkan mereka karena semangat permusuhan dalam setiap keadaan kecuali jika khawatir dengan gangguan orang kafir maka Allah bolehkan taqiyyah kepada orang kafir pada saat itu. Taqiyyah itu bukanlah loyal dengan orang kafir” (Badai al Fawaid 3/69).
Setelah penjelasan di atas sebagaimana mungkin orang-orang yang mempermainkan agama Allah masih saja nekad menggunakan cara-cara berdalil yang aneh tersebut. Itulah cara berdalil yang bertolak belakang dengan akal sehat dan agama.
Referensi: http://www.olamayemen.com/show_art4.html
Penerjemah: Ustadz Aris Munandar, SS
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 06 Desember 2010

Kebo Kyai Slamet, Dicari Berkahnya di Bulan Suro

Kaum muslimin yang semoga selalu mendapat taufik Allah Ta’ala. Pada hari yang dikatakan sakral oleh sebagian kaum muslimin, terdapat suatu kenyataan yang sangat memilukan yang menunjukkan kekurangan akal. Hari tersebut adalah tanggal siji suro (1 Muharram). Sebagian kaum muslimin yang selalu menginginkan kemudahan dalam hidupnya dan ingin mencari kebaikan malah mencarinya dengan cara yang tidak masuk akal. Mereka mencari berkah dari seekor kerbau (kebo bule) yang disebut dengan ‘Kyai Slamet’, yakni mereka saling berebut untuk mendapatkan kotoran kerbau tersebut, lalu menyimpannya, seraya berkeyakinan rizki akan lancar dan usaha akan berhasil dengan sebab kotoran tersebut. Seorang yang punya akal sehat tentu tidak mungkin melakukan hal yang demikian. Tetapi kok mereka bisa melakukan hal yang demikian?! Ke mana akal sehat mereka?!!
Itulah tabaruk (baca: mencari berkah atau ’ngalap berkah’), mereka melakukan yang demikian untuk mendapatkan berkah dari kotoran tersebut. Maka perhatikanlah pembahasan kali ini, agar kaum muslimin sekalian dapat mengetahui manakah cara mencari berkah yang dibenarkan dan manakah yang dilarang oleh agama ini.Keberkahan Hanya dari Allah
Mencari berkah atau tabaruk adalah meminta kebaikan yang banyak dan meminta tetapnya kebaikan tersebut. Dalam Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwasanya keberkahan hanya berasal dari Allah semata dan tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memberikan keberkahan.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Allah yang memberikan berkah, telah menurunkan Al Furqaan (yaitu Al Qur’an) kepada hamba-Nya” (Al Furqon: 1), yaitu menunjukkan banyaknya dan tetapnya kebaikan yang Allah berikan kepada hamba-Nya berupa Al Qur’an.
Allah juga berfirman yang artinya,”Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq” (Ash Shofaat: 113).
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada” (Maryam: 31).
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya yang memberikan berkah hanyalah Allah. Maka tidak boleh seseorang mengatakan, ’Saya memberikan berkah pada perbuatan kalian, sehingga perbuatan tersebut lancar’. Karena berkah, banyaknya kebaikan, dan kelanggengan kebaikan hanya Allah yang mampu memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Berkah yang Tidak Bisa Berpindah secara Dzat

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa sesuatu yang Allah halalkan sebagai berkah ada 2 macam yaitu (1) berkah dari tempat dan waktu, dan (2) berkah dari zat manusia.
Berkah yang pertama ini seperti yang Allah berikan pada Baitul Haram (ka’bah) dan sekeliling Baitul Maqdis. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
”Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami” (Al Isro’: 1).
Maksud dari memberkahi tempat tersebut adalah memberikan kebaikan yang banyak dan terus menerus di tempat tersebut, sehingga para hamba-Nya senantiasa ingin dan senang berdo’a di tempat tersebut, untuk memperoleh berkah di dalamnya. Ini bukan berarti -seperti anggapan sebagian kaum muslimin- bahwa seseorang boleh mengusap-ngusap bagian masjid tersebut (seperti dinding) untuk mendapatkan berkah yang banyak. Karena berkah dari masjid tersebut bukanlah berkah secara dzatnya, tetapi keberkahannya adalah secara maknawi saja, yaitu keberkahan yang Allah himpun pada bangunan ini yaitu dengan mendatanginya, thowaf di sekeliling ka’bah, dan beribadah di dalamnya yang pahalanya lebih banyak daripada beribadah di masjid lainnya.
Begitu juga hajar aswad, keberkahannya adalah dengan maksud ibadah, yaitu seseorang menciumnya atau melambaikan tangan kepadanya karena mentaati dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkah yang dia peroleh adalah berkah karena mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Umar radhiyallahu ‘anhu telah mengatakan,”Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu biasa, tidak dapat memberikan manfaat, begitu juga tidak dapat mendatangkan bahaya.” (HR. Bukhari).
Maksudnya, hajar aswad tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan bahaya kepada seseorang sedikit pun. Sesungguhnya hal ini dilakukan dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan,”Dan aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku juga menciummu.”
Adapun mendapatkan berkah dari waktu adalah seperti pada bulan Ramadhan. Bulan tersebut disebut dengan bulan yang penuh berkah (banyak kebaikan). Seperti di dalamnya terdapat malam lailatul qodar yaitu barangsiapa yang beribadah pada malam tersebut maka dia seperti beribadah seribu bulan lamanya.
Berkah dari Para Nabi dapat Berpindah secara Dzat
Kaum muslimin, berkah jenis kedua ini adalah berkah yang Allah berikan pada orang-orang mu’min dari para Nabi ‘alaihimus salam. Berkah yang terdapat pada mereka adalah berkah secara dzat (dapat berpindah secara dzat). Seluruh bagian tubuh para Nabi mulai dari Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, sampai Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah berkah. Di antara kaum Nabi tersebut ada yang mencari berkah dari badan mereka, baik dengan mengusap-ngusap tubuh mereka atau mengambil keringat mereka atau mengambil berkah dari rambut mereka. Semua ini diperbolehkan karena Allah menjadikan tubuh mereka adalah berkah. Sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, badannya adalah berkah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits bahwasanya para sahabat Nabi mengambil berkah dari ludah dan rambut beliau. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut untuk mendapat bekas wudhu beliau.
Berkah secara dzat seperti ini hanya dikhususkan kepada para Nabi ‘alaihimus salam saja dan tidak diperbolehkan bagi selain mereka. Begitu juga para sahabat Nabi sekalipun atau sahabat yang paling mulia dan sudah dijamin masuk surga seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak boleh seorang pun mengambil berkah dari mereka karena hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang lain kepada mereka berdua, sebagaimana mereka mengambil berkah dari rambut dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimana Mencari Berkah dari ‘Kyai’ ?!
Sebagian kaum muslimin saat ini ketika menghadapi kesulitan dalam hidupnya, mereka malah mencari berkah dari para kyai. Mereka menyamakan/meng-qiyas-kan hal ini dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh diambil rambut dan keringatnya sebagai suatu keberkahan, maka menurut mereka para kyai juga pantas untuk dimintai berkahnya baik dari ludahnya atau rambutnya. Bahkan ada pula yang mengambil kotoran kyai/gurunya untuk mendapatkan berkah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi. Tidakkah mereka tahu bahwa mencari berkah secara dzat seperti ini tidak diperbolehkan untuk selain para Nabi?!!
Qiyas (penyamaan hukum) yang mereka lakukan adalah qiyas yang keliru dan jelas-jelas berbeda. Jangankan mencari berkah dari kyai, mencari berkah dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu -sahabat yang mulia, yang keimanannya jika ditimbang akan lebih berat dari keimanan umat ini dan sudah dijamin masuk surga- saja tidak diperbolehkan karena beliau bukan Nabi dan tidak pernah di antara para sahabat yang lain mencari berkah dari beliau radhiyallahu ‘anhu. Apalagi dengan para kyai yang tingkat keimanannya di bawah Abu Bakar dan belum dijamin masuk surga, maka tidaklah pantas seorang pun mengambil berkah darinya.
Maka bagaimana pula dengan mengambil berkah dari kyai -yang tidak punya akal- seperti kerbau ‘Kyai Slamet’?!! Sungguh perbuatan ini tidaklah masuk akal dan tidak mungkin memberikan kebaikan sama sekali, tetapi malah akan menambah dosa. Dosa ini bukan sembarang dosa, namun dosa ini adalah dosa paling besar dari dosa-dosa lainnya yaitu dosa syirik dan Allah Ta’ala berfirman,
”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 116)
Tingkat Kesyirikan Tabaruk (Mencari Berkah)
Syaikh Sholih Alu Syaikh hafidzohullah menjelaskan bahwa jika kita memperhatikan apa yang dilakukan oleh para penyembah kubur (yang datang ke kuburan para wali dan beribadah kepadanya, -pen) di zaman kita ini, di negeri-negeri yang di sana tersebar berbagai macam kesyirikan, kita akan mendapati di antara mereka ada yang melakukan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu terhadap laata, ‘uzza, dan dzatu anwat. Para penyembah kubur tersebut duduk-duduk di kuburan atau di sekeliling pagarnya, mereka berada di atas kuburan atau di celah-celah dinding yang mengelilingi kuburan. Mereka berkeyakinan apabila mereka menyentuhnya (dengan tujuan mencari berkah,-pen) seolah-olah mereka menyentuh orang yang berada dalam kuburan tersebut, terhubungkan roh mereka dengannya dan mereka meyakini bahwa orang yang berada di dalam kubur akan menjadi perantara antara mereka dengan Allah. Itulah pengagungan kepada kubur tersebut. Inilah syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam,-pen) karena perkara ini mengandung ketergantungan hati kepada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya serta menjadikan perantara antara diri mereka dengan Allah.
Perbuatan seperti ini adalah sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik dahulu (yang telah dianggap kafir oleh Allah dan Rasul-Nya,-pen). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah yang artinya,
”Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az Zumar: 3).
Adapun apabila mereka mengusap-ngusap kubur tersebut dan meyakini bahwa kubur tersebut adalah tempat yang penuh berkah dan hanya sebagai sebab mendapatkan berkah. Maka ini adalah syirik ashgor.

(Sebagian pembahasan di atas diambil dari kitab ‘At Tamhid lii Syarhi Kitabit Tauhid’ yang ditulis oleh Menteri Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Sholih Alu Syaikh -semoga Allah menjaga beliau-)
Wahai kaum muslimin, inilah tingkat kesyirikan tabaruk. Seseorang bisa keluar dari Islam disebabkan melakukan perbuatan syirik akbar ini. Maka renungkanlah, apakah perbuatan lain yang merupakan bentuk mencari berkah seperti ‘grebeg mulud’ (tumpukan tumpeng yang saling diperebutkan pada hari ‘maulud Nabi’) termasuk mencari berkah yang disyari’atkan atau tidak. Benarkah tumpeng yang diambil berkahnya tersebut bisa melariskan dagangan, melancarkan rizki seseorang, bisa membuat seseorang mendapatkan jodoh?!!
Semoga Allah menunjukkan kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya. Sesungguhnya Allah menunjuki pada jalan yang lurus bagi siapa yang dikehendaki.
Artikel: http://rumaysho.com

Rabu, 01 Desember 2010

"Pacaran Terselubung"

Tanya: Aku adalah seorang pemuda. Aku punya hobi main internet dan ngobrol (chatting). Aku hampir tidak pernah chatting dengan cewek. Jika terpaksa aku chatting dengan cewek maka aku tidaklah berbicara kecuali dalam hal yang baik-baik.
Kurang dari setahun yang lewat ada seorang gadis yang mengajak aku chatting lalu meminta no hp-ku. Aku katakan bahwa aku tidak mau menggunakan hp dan aku tidak ingin membuat Allah murka kepadaku.
Dia lalu mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang sopan dan berakhlak mulia. Aku akan bahagia jika kita bisa berkomunikasi secara langsung”. Kukatakan kepadanya, “Maaf aku tidak mau menggunakan HP”. Kemudian dia berkata dengan nada kesal, “Terserah kamulah”.
Selama beberapa bulan kami hanya berhubungan melalui chatting. Suatu ketika dia mengatakan, “Aku ingin no HP-mu”. “Bukankah dulu sudah pernah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mau menggunakan HP”, jawabku. Dia lalu berjanji tidak akan menghubungiku kecuali ada hal yang mendesak. Kalau demikian aku sepakat.
Setelah itu selama tiga bulan dia tidak pernah menghubungiku. Akupun berdoa agar Allah menjadikannya bersama hamba-hambaNya yang shalih.
Tak lama setelah itu ada seorang gadis kurang lebih berusia 16 tahun yang berakhlak dan sangat sopan menghubungi no HP-ku. Dia berkata dalam telepon, “Apa benar engkau bernama A?”. “Benar, apa yang bisa kubantu”, tanyaku. Dia mengatakan, “Fulanah, yaitu gadis yang telah kukenal via chatting, berkirim salam untukmu”. “Salam kembali untuknya. Mengapa tidak dia sendiri yang menghubungiku?”, tanyaku. “Telepon rumahnya diawasi dengan ketat oleh orang tuanya”, jawabnya.
Setelah orang tuanya kembali memberi kelonggaran, dia kembali menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Jangan sering telepon” namun dia selalu saja menghubungiku. Akan tetapi pembicaraan kami sebatas hal-hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk melaksanakan shalat, puasa dan shalat malam.
Setelah beberapa waktu lamanya, dia berterus terang kalau dia jatuh cinta kepadaku dan aku sendiri juga sangat mencintainya. Aku juga berharap bisa menikahinya sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya karena dia adalah seorang gadis yang berakhlak, beradab dan taat beragama setelah aku tahu secara pasti bahwa aku adalah orang yang pertama kali melamarnya via telepon.
Akan tetapi empat bulan yang lewat, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan saudara sepupunya sendiri karena ayahnya marah dengannya. Inilah awal masalah. Aku mulai sulit tidur. Kukatakan kepadanya, “Serahkan urusan kita kepada Allah. Kita tidak boleh menentang takdir”. Namun dia meski sudah menikah tetap saja menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Haram bagimu untuk menghubungiku karena engkau sudah menjadi istri seseorang”.
Yang jadi permasalahan, bolehkah dia menghubungiku via HP sedangkan dia telah menjadi istri seseorang? Allah lah yang menjadi saksi bahwa pembicaraanku dengannya sebatas hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk menambah ketaatan terlebih lagi ayahnya memaksanya untuk menikah dengan dengan lelaki yang tidak dia cintai.
Jawab:
Saling menelepon antar lawan jenis itu tidaklah diperbolehkan secara mutlak baik pihak perempuan sudah bersuami ataukah belum. Bahkan ini adalah tipu daya Iblis.
Kau katakan bahwa tidak ada hubungan antaramu dengan dia selain saling menasehati dan mengajak untuk melakukan amal shalih. Perhatikan bagaimana masalah cinta dan yang lainnya menyusup melalui hal ini. Bukankah engkau tadi mengatakan bahwa engkau mencintainya dan diapun mencintaimu sedangkan katamu topik pembicaraanmu hanya seputar amal shalih? Kami tahu sendiri beberapa pemuda yang semula sangat taat beragama berubah menjadi menyimpang gara-gara hal ini.
Wahai saudaraku bertakwalah kepada Allah. Jauhilah hal ini. Cara-cara seperti ini lebih berbahaya dari pada cara-cara orang fasik yang secara terang-terangan ngobrol dengan perempuan dengan tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Mereka sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah maksiat. Sadar bahwa suatu hal itu adalah keliru merupakan awal langkah untuk memperbaiki diri.
Sedangkan dirimu tidak demikian bahkan boleh jadi engkau menganggapnya sebagai sebuah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-laki melebihi wanita” (HR Bukhari no 4808 dan Muslim no 2740 dari Usamah bin Zaid).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ
“Sesungguhnya awal kebinasaan Bani Israil adalah disebabkan masalah wanita” (HR Muslim no 7124 dari Abu Said al Khudri).
Perempuan yang mengajakmu ngobrol dengan berbagai obrolan ini padahal tidak ada hubungan kekerabatan antara dirimu dengannya adalah suatu yang haram. Hati-hatilah dengan cara-cara semisal ini. Moga Allah menjadikanmu sebagai salah seorang hambaNya yang shalih.
Tanya: Andai jawaban untuk pertanyaan di atas adalah tidak boleh apakah boleh dia mengajak aku ngobrol via chatting?
Jawab:
Wahai saudaraku, hal ini tidaklah dibolehkan. Hubunganmu dengannya semula adalah chatting lalu berkembang menjadi komunikasi langsung via telepon dan ujung-ujungnya adalah ungkapan cinta. Apakah hanya akan berhenti di sini?
Semua hal ini adalah trik-trik Iblis untuk menjerumuskan kaum muslimin dalam hal-hal yang haram. Bersyukurlah kepada Allah karena Dia masih menyelamatkanmu. Bertakwalah kepada Allah, jangan ulangi lagi baik dengan perempuan tersebut ataupun dengan yang lain.
Tanya: Apa hukum seorang laki-laki yang chatting dengan seorang perempuan via internet dan yang dibicarakan adalah hal yang baik-baik?
Jawab:
Tidak ada seorangpun yang bisa mengeluarkan fatwa yang bersifat umum untuk permasalahan semisal ini karena ada banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak. Fatwa yang bisa saya sampaikan kepadamu adalah obrolan dengan lawan jenis yang semisal kau lakukan adalah tidak diperbolehkan. Bukti nyata untuk hal ini adalah apa yang kau ceritakan sendiri bahwa hubunganmu dengan perempuan tersebut terus berkembang ke arah yang terlarang.
[Disarikan dari Majmu Fatawa al Adab karya Nashir bin Hamd al Fahd].