RSS Feed

Rabu, 24 November 2010

Kritik Sinetron Mistis Religius

Kepada pengasuh rubrik konsultasi yang kami hormati, ada pertanyaan yang sampai saat ini masih mengganjal di benak saya. Belakangan ini tengah marak di TV atau pun media yang mengungkap berbagai kisah dan cerita yang dikemas menarik. Kisah tersebut berkisar antara lain kematian seorang yang bermaksiat, akibat buruk orang yang berjudi dan berbagai hal aneh lainnya terkait dengan jenazah yang sudah meninggal kemudian dihubungkan dengan perilakunya semasa hidup. Pertanyaannya, apakah kita boleh menceritakan kejadian-kejadian tersebut untuk diambil sebagai bahan pelajaran bagi yang masih hidup?

Jawab:

Cerita-cerita semacam ini memiliki beberapa sisi yang patut dicermati,
1. Menggunjing orang yang sudah mati
Syekh Musthofa Al-Adawi mengatakan, “Memang orang yang membicarakan aib orang yang sudah mati termasuk menggunjing mereka. Sesungguhnya ikatan iman tidaklah terputus dengan sebab kematian. Oleh karena itu, dalil-dalil larangan ghibah juga berlaku untuk orang-orang yang sudah meninggal. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah satu diantara kalian mau memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai. Tentu kalian tidak akan menyukainya.” (QS Al-Hujurat: 12)
Tentang ghibah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” (HR Muslim no 2518) Bahkan terdapat dalil-dalil khusus yang melarang menggunjing orang yang sudah mati. Diriwayatkan oleh Imam Nasa’I dengan sanad yang shahih dari Aisyah, beliau mengatakan, “Ada seorang yang menyebut-nyebut aib orang yang sudah mati di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Janganlah kalian menyebut-nyebut orang yang sudah meninggal di antara kalian kecuali dengan kebaikan.”
Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dengan sanad yang shahih dari Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dengan keluarganya. Aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku. Jika shahabat kalian meninggal dunia maka biarkanlah dia (jangan sebut-sebut kejelekannya).”
Kecuali jika orang yang sudah meninggal tersebut adalah pemimpin kesesatan dan dikhawatirkan ada orang yang mengikutinya. Dalam kondisi demikian diperbolehkan menjelaskan kejelekan-kejelekannya bahkan bisa jadi dianjurkan jika dengan maksud mengingatkan umat jangan sampai mengikuti orang tersebut.
Tentang kaum Firaun Allah berfirman, yang artinya, “Dan Kami ikutkanlah la’nat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan.” (QS al-Qashash 42)
Demikian pula Allah berfirman, yang artinya, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS Al-Lahab 1)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Aku melihat Amar bin Luhay menyeret-nyeret ususnya sendiri di dalam neraka karena dia adalah orang yang pertamakali menetapkan adanya Saibah (sejenis unta yang diharamkan masyarakat jahiliyyah).” (HR Bukhari no 2424 dan Muslim no 2856 dari Abu Hurairah)(Lihat Tashil Lita’wil At-Tanzil tafsir surat Al-Hujurat hal 159-161)
2. Dalam kisah-kisah ini terdapat tindakan menghubungkan sesuatu yang tidak berhubungan tanpa dalil bahkan termasuk dalam tindakan menebak-nebak hal yang ghaib tanpa dasar wahyu.
Semisal ada seorang yang ketika hidup suka berbuat maksiat berupa tidak shalat, suka berjudi, menipu dan menyakiti ibu, ketika meninggal mayat orang tersebut busuk. Peristiwa ini lantas dikomentari inilah adzab Allah untuk orang yang durhaka kepada ibunya. Dari manakah pernyataan memastikan seperti ini? Kenapa tidak dikatakan itu sebagai adzab karena selama hidup tidak shalat, atau karena suka berjudi. Menghubungkan hal-hal ini tanpa dalil dari wahyu termasuk menebak-nebak hal yang ghaib dan berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu, suatu dosa yang Allah sejajarkan dengan kesyirikan. Allah berfirman, yang artinya, “Dan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan dalil tentangnya, dan kalian berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu.” (QS Al-A’raf: 33)
Dari Amr bin Dinar sesungguhnya Tamim Ad-Dari meminta ijin kepada Umar bin Khatthab untuk bercerita di hadapan banyak orang. Namun khalifah Umar tidak memberikan ijin untuknya. Setelah itu Tamim Ad-dari meminta ijin lagi, khalifah Umar tetap bersikukuh tidak memberikan ijin, akhirnya Tamim Ad-Dari meminta ijin untuk yang ketiga kalinya. Dengan tegas khalifah Umar mengatakan, “Jika engkau mau demikian?” Beliau berisyarat dengan tangannya yang bermakna terpenggalnya kepala.” (Majma’ Az-Zawaid 1/189-190. Riwayat ini dikomentari oleh Al-Haitsami para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam kitab shahih Bukhari atau shahih Muslim)
Mengomentari kisah di atas al-Hafidz al-Iraqi mengatakan, “Renungkanlah bagaimana Umar tidak memberi ijin membacakan cerita kepada salah seorang shahabat padahal seluruh shahabat adalah orang yang bisa dipercaya dan baik agamanya. Siapakah diantara tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang selevel dengan Tamim Ad-Dari?”
Syekh Jamal bin Furaihan berkomentar, “Siapakah yang semisal dengan Tamim Ad-Dari di jaman kita ini padahal shahabat Tamim Ad-Dari pasti hanya menceritakan kisah-kisah yang benar. Bagaimana seandainya para ulama dahulu mendengar kisah yang dituturkan oleh para tukang kisah di jaman ini. Semisal kisah seekor ular yang mengobrak-abrik gundukan tanah di pekuburan sehingga debu menutupi pandangan orang-orang yang ada ketika itu. Ular tersebut lantas turun bersama jenazah masuk ke dalam liang lahat. Atau cerita yang disampaikan oleh sebagian orang tentang jenazah yang bila diletakkan di liang lahat wajahnya tidak mau dihadapkan ke arah kiblat. Atau semisal orang yang mengatakan, “Pada saat aku memandikannya tiba-tiba wajahnya berubah menjadi hitam dan cerita-cerita semisalnya.”
Mereka mengkait-kaitkan berbagai kejadian di atas dengan maksiat yang dilakukan oleh orang-orang tersebut, menurut anggapan mereka, mereka hendak menakut-nakuti manusia agar menjauhi maksiat melalui cerita-cerita tersebut. Kapankah para tukang kisah ini mengetahui hal yang ghaib?!! Sehingga bisa menghubung-hubungkan bahwa kejadian itu karena maksiat ini.” (Lam Ad-Dur Al-Mansur Min Al-Qaul Al Ma’tsur Fi Al I’tiqad Wa As-Sunnah, karya Syekh Jamal bin Furaihan al-Haritsi hal 220-221)
Benarlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Orang yang menyampaikan cerita / kisah itu hanya ada tiga jenis, penguasa, orang yang mendapatkan perintah dari penguasa atau orang yang sombong.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir 19/179 -180, Ibnu Adi 6/406 dan lain-lain) Oleh karena itu Abdullah bin Umar mengatakan, “Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang namanya kisah tidak pula di masa Abu Bakar tidak pula di masa Umar dan Utsman. Kisah hanyalah sesuatu yang diada-adakan setelah kemunculan berbagai bentuk bid’ah” (HR Ibnu Majah no 3754 dan lain-lain)
Berdasarkan penjelasan di atas maka tidaklah benar jika kisah semacam ini merupakan sebuah intisari ajaran Islam.
Artikel www.ustadzaris.com

Kamis, 18 November 2010

Bedakah Penentuan Idul Adha dengan Idul Fitri dan Ramadhan?

فصل
مسألة رؤية بعض البلاد رؤية لجميعها فيها اضطراب
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Permasalahan apakah rukyah sebagian negeri kaum muslimin adalah rukyah untuk seluruh kaum muslimin adalah masalah yang diperselisihkan secara tajam.
فانه قد حكى ابن عبد البر الاجماع على ان الاختلاف فيما يمكن اتفاق المطالع فيه فاما ما كان مثل الاندلس وخراسان فلا خلاف انه لا يعتبر
Ibnu Abdil Barr menukil adanya ijma ulama bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama itu berlaku untuk daerah yang memiliki kesamaan mathla’ (posisi terbitnya hilal). Sedangkan daerah yang berbeda mathla’ semisal Spanyol dengan Khurasan (sekitar Iran) maka tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa hilal yang terlihat di satu tempat tersebut tidaklah teranggap untuk penduduk yang tinggal di tempat yang lain.
قلت أحمد اعتمد فى الباب على حديث الاعرابى الذي شهد انه اهل الهلال البارحة فامر النبى الناس على هذه الرؤية مع انها كانت فى غير البلد وما يمكن ان تكون فوق مسافة القصر ولم يستفصله وهذا الاستدلال لا ينافى ما ذكره ابن عبد البر لكن ما حد ذلك
Kami katakan bahwa dalam masalah ini Imam Ahmad berpedoman dengan hadits tentang seorang arab badui yang memberikan persaksian bahwa semalam hilal Ramadhan telah muncul maka Nabi memerintahkan para sahabat untuk berpuasa dengan dasar rukyah orang tersebut padahal rukyah orang arab badui tersebut terjadi di luar Madinah bahkan boleh jadi terjadi di daerah yang melebihi jarak qashar dari Madinah. Namun dalam hadits di atas Nabi tidak meminta rincian kepada orang badui tentang posisi dia ketika melihat hilal. Cara berdalil Imam Ahmad ini tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Abdil Barr. Akan tetapi yang jadi pertanyaan adalah tolak ukur apa yang akan dipakai untuk menentukan teranggapnya rukyah hilal ataukah tidak teranggap?
والذين قالوا لا تكون رؤية لجميعها كأكثر اصحاب الشافعي منهم من حدد ذلك بمسافة القصر ومنهم من حدد ذلك بما تختلف فيه المطالع كالحجاز مع الشام والعراق مع خراسان
Para ulama yang berpendapat bahwa rukyah suatu daerah itu tidaklah otomatis menjadi rukyah untuk seluruh kaum muslimin semisal mayoritas Syafiiyyah ada yang menjadikan tolak ukur adalah jarak yang membolehkan qashar (kurang lebih 83 KM). Pendapat yang lain menjadikan tolak ukur adalah perbedaan mathla’ semisal Hijaz dengan Syam atau Irak dengan Khurasan.
وكلاهما ضعيف فان مسافة القصر لا تعلق لها بالهلال
Kedua pendapat di atas adalah pendapat yang lemah karena jarak yang membolehkan seorang musafir untuk mengqashar shalat itu tidak memiliki hubungan dengan permasalahan kemunculan hilal.
واما الاقاليم فما حدد ذلك ثم هذان خطأ من وجهين
Sedangkan perbedaan daerah bukanlah para meter yang bisa diukur. Di samping itu kedua pendapat di atas adalah pendapat yang keliru karena dua alasan.
أحدهما أن الرؤية تختلف باختلاف التشريق والتغريب فانه متى رؤي فى المشرق وجب ان يرى فى المغرب ولا ينعكس
Pertama, terlihat atau tidaknya hilal itu tergantung posisi di barat ataukah di timur. Jika hilal terlihat di daerah timur, otomatis terlihat di daerah barat. Namun tidak sebaliknya.
لانه يتأخر غروب الشمس بالمغرب عن وقت غروبها بالمشرق فاذا كان قد رؤي ازداد بالمغرب نورا وبعدا عن الشمس وشعاعها وقت غروبها فيكون احق بالرؤية
Tenggelamnya matahari di daerah barat itu lebih belakangan dari pada tenggelamnya matahari di daerah timur. Jika hilal sudah terlihat di daerah timur maka hilal semakin bercahaya dan jauh dari bulatan dan sinar matahari pada saat matahari tenggelam jika dilihat di daerah barat. Sehingga dalam kondisi ini orang yang berada di daerah barat lebih layak lagi untuk melihat kemunculan hilal.
وليس كذلك اذا رؤي بالمغرب لانه قد يكون سبب الرؤية تاخر غروب الشمس عندهم فازداد بعدا وضوءا ولما غربت بالمشرق كان قريبا منها
Lain halnya jika hilal terlihat di daerah barat. Boleh jadi yang menyebabkan orang yang berada di barat bisa melihat hilal adalah karena di tempat mereka tenggelamnya matahari lebih belakangan dibandingkan di daerah timur. Kondisi ini menyebabkan hilal lebih bercahaya dan posisi hilal lebih jauh dari matahari (sehingga hilal lebih mudah terlihat). Sedangkan ketika matahari tenggelam di daerah timur, posisi hilal dekat dengan matahari sehingga hilal tidak terlihat.
ثم إنه لما رؤي بالمغرب كان قد غرب عن اهل المشرق فهذا امر محسوس فى غروب الشمس والهلال وسائر الكواكب
Di samping itu ketika hilal terlihat di daerah barat, hilal telah tenggelam dalam pandangan orang yang tinggal di daerah timur. Ini adalah sebuah fakta empiris terkait dengan tenggelamnya matahari, hilal dan benda langit lainnya.
ولذلك اذا دخل وقت المغرب بالمغرب دخل بالمشرق ولا ينعكس
Oleh karena itu jika waktu shalat magrib sudah tiba di daerah barat otomatis waktu shalat magrib di daerah timur juga sudah tiba. Namun tidak sebaliknya.
وكذلك الطلوع اذا طلعت بالمغرب طلعت بالمشرق ولا ينعكس فطلوع الكواكب وغروبها بالمشرق سابق
Demikian pula jika matahari sudah terbit di daerah barat otomatis matahari sudah terbit di wilayah timur namun tidak sebaliknya. Jadi terbit dan tenggelamnya matahari di daerah timur itu lebih dahulu dari pada di daerah barat.
وأما الهلال فطلوعه ورؤيته بالمغرب سابق لانه يطلع من المغرب وليس فى السماء ما يطلع من المغرب غيره
Sedangkan hilal lebih dahulu muncul dan terlihat di daerah barat di bandingkan daerah timur karena hilal itu terbit di barat. Tidak ada benda angkasa yang terbit di barat selain hilal.
وسبب ظهوره بعده عن الشمس
Sebab hilal bisa terlihat dengan jelas adalah jika posisi hilal jauh dari posisi matahari.
فكلما تأخر غروبها ازداد بعده عنها
Sehingga jika tenggelamnya matahari itu makin belakangan maka posisi hilal semakin jauh dari matahari ( sehingga hilal semakin jelas terlihat).
فمن اعتبر بعد المساكن مطلقا فلم يتمسك بأصل شرعى ولا حسي
Jadi orang yang menjadikan tolak ukur terlihatnya hilal hanya posisi orang yang melihat jauh dari perkampungan adalah orang yang berpendapat tanpa dasar syariat dan tanpa dasar fakta empiris.
وأيضا فان هلال الحج ما زال المسلمون يتمسكون فيه برؤية الحجاج القادمين وان كان فوق مسافة القصر
Di samping itu terkait hilal Dzulhijjah, seluruh kaum muslimin selalu mendasari penetapan awal Dzulhijjah dengan rukyah para jamaah haji yang datang ke Mekkah dari berbagai penjuru dunia tanpa menimbang apakah posisi mereka ketika melihat hilal Dzulhijjah itu lebih dari 83 KM ataukah kurang dari itu.
الوجه الثانى أنه إذا اعتبرنا حدا كمسافة القصر او الاقاليم فكان رجل في آخر المسافة والاقليم فعليه ان يصوم ويفطر وينسك وآخر بينه وبينه غلوة سهم لا يفعل شيئا من ذلك
Kedua, jika yang kita jadikan tolak ukur adalah jarak yang membolehkan untuk mengqashar shalat atau daerah maka akan ada kejadian, seorang muslim yang tinggal di ujung daerah atau dekat tapal batas jarak qashar wajib berpuasa Ramadhan, berhari raya Idul Fitri dan menyembelih hewan qurban namun muslim lain yang menjadi tetangganya tidak melakukan hal-hal di atas karena alasan beda daerah atau karena di atas jarak qashar.
وهذا ليس من دين المسلمين
Tentu saja kemungkinan di atas bukanlah bagian dari ajaran Islam.
فالصواب فى هذا والله أعلم ما دل عليه قوله صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون فإذا شهد شاهد ليلة الثلاثين من شعبان أنه رآه بمكان من الأمكنة قريب أو بعيد وجب الصوم
Wal hasil, pendapat yang benar dalam masalah di atas adalah isi kandungan hadits Nabi, “Awal Ramadhan adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Idul Fitri adalah hari di mana kalian semua merayakan Idul Fitri. Idul Adha adalah hari di mana kalian semua merayakan Idul Adha”. Sehingga jika ada seorang saksi pada malam 30 Sya’ban yang mengatakan bahwa dia telah melihat hilal Ramadhan di tempat mana pun baik posisinya jauh dari domisili penguasa yang dia lapori ataupun tidak maka wajib berpuasa Ramadhan”.
Sumber:
Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah jilid 25 hal 103-105, cetakan standar.

Artikel www.ustadzaris.com

Minggu, 14 November 2010

Tumbal dan Sesajen, Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah

Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.
Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Qs. al-Jin: 6).
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.[1]
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman), ‘Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,’ lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir), ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’aam:128).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.”[2]
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam

Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[3], adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (Qs. al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanla.” (Qs. al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]
Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).[5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sembahan (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.”[6]
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”[7]
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya.[8]
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar.[9]
Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat,  ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita  hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala’–, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempenyai sesuatu untuk dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah artinya seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, –dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat– kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”[10]
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen

Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar.” (Qs an-Nisaa’: 48).
Maka, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. al-Maaidah: 2).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.”[11]
Dan dalam hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa).”[12]
Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya perbuatan) batil (maksiat).”[13]
Hukum Memanfaatkan Makanan/Harta yang Digunakan untuk Tumbal/Sesajen

Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut dipersembahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai.[14] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah tidak boleh dimakan dagingnya.”[15]
Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia (juga) mengharamkan harganya (diperjual-belikan).[16]
Adapun jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, demikian juga harta, maka sebagian ulama ada yang mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala[17]
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allah, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan, karena hukum asal makanan/harta tersebut adalah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “(Pendapat yang mengatakan) bahwa uang (harta), makanan, minuman dan hewan yang masih hidup, yang dipersembahkan oleh pemiliknya kepada (sembahan selain Allah, baik itu) kepada Nabi, wali maupun (sembahan-sembahan) lainnya, haram untuk diambil dan dimanfaatkan, pendapat ini tidak benar. Karena semua itu adalah harta yang bisa dimanfaatkan dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya, serta hukumya tidak sama dengan bangkai (yang haram dan najis), maka (hukumnya) boleh diambil (dan dimanfaatkan), sama seperti harta (lainnya) yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk siapa saja yang menginginkannya, seperti bulir padi dan buah korma yang ditinggalkan oleh para petani dan pemanen pohon korma untuk orang-orang miskin.
Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah (perbuatan) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika) beliau mengambil harta (yang dipersembahkan oleh orang-orang musyrik) yang (tersimpan) di perbendaharaan (berhala) al-Laata, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (memanfaatkannya untuk) melunasi utang (sahabat yang bernama) ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) tidak menganggap dipersembahkannya harta tersebut kepada (berhala) al-Laata sebagai (sebab) untuk melarang mengambil (dan memanfaatkan harta tersebut) ketika bisa (diambil).
Akan tetapi, orang yang melihat orang (lain) yang melakukan perbuatan syirik tersebut (mempersembahkan makanan/harta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala), dari kalangan orang-orang bodoh dan para pelaku syirik, wajib baginya untuk mengingkari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada pelaku syirik itu bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk syirik, supaya tidak timbul prasangka bahwa sikap diam dan tidak mengingkari (perbuatan tersebut), atau mengambil seluruh/sebagian dari harta persembahan tersebut, adalah bukti yang menuinjukkan bolehnya perbuatan tersebut dan bolehnya berkurban dengan harta tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena perbuatan syirik adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang paling besar (dosanya), maka wajib diingkari/dinasihati orang yang melakukannya.
Adapun kalau makanan (yang dipersembahkan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) tersebut terbuat dari daging hewan yang disembelih oleh para pelaku syirik, maka (hukumnya) haram (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga lemak dan kuahnya, karena (daging) sembelihan para pelaku syirik hukumnya sama dengan (daging) bangkai, sehingga haram (untuk dimakan) dan menjadikan najis makanan lain yang tercampur dengannya. Berbeda dengan (misalnya) roti atau (makanan) lainnya yang tidak tercampur dengan (daging) sembelihan tersebut, maka ini semua halal bagi orang yang mengambilnya (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga uang dan harta lainnya (halal untuk diambil), sebagaimana penjelasan yang lalu, wallahu a’lam.[18]
Penutup

Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 3 Dzulqa’dah 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (4/550), Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 890), at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 317) dan kitab Hum Laisu Bisyai (hal. 4). [2] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 273).
[3] Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 282).
[4] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 228).
[5] Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim (13/141), al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid (1/215) dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 146).
[6] Kitab Jaami’ul Bayaan Fi Ta’wiilil Quran (3/319).
[7] HSR. Muslim (no. 1978)
[8] Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 146).
[9] Lihat kitab Fathul Majid (hal. 178 dan 179).
[10] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (no. 33038) dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan dari jalan lain oleh Imam Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 15-16), al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman (no. 7343) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (1/203).
[11] Kitab Tafsir Ibnu Katsir (2/5).
[12] HSR. Muslim (no. 1598).
[13] Kitab Syarhu Shahiihi Muslim (11/26).
[14] Lihat keterangan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid (hal. 175).
[15] Kitab Daqa-iqut Tafsiir (2/130).
[16] HR Ahmad (1/293), Ibnu Hibban (no. 4938) dan lain-lain, Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam kitab Ghaayatul Maraam (no. 318).
[17] Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamid al-Faqiy dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid (hal. 174).
[18] Catatan kaki Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap kitab Fathul Majiid (hal. 174-175).

Sabtu, 13 November 2010

Meninjau Hukum Transfer Hewan Qurban

Syeikh Abul Hasan Al Ma’ribi menjelaskan,
“Mengenai memindah hewan korban ke luar daerah maka hukumnya tergantung kondisi orang-orang miskin di daerah tempat tinggal shohibul qurban dan kondisi orang-orang miskin di daerah tujuan.
Jika di daerah tempat tinggal shohibul qurban terdapat banyak orang-orang miskin dan mereka mengharapkan agar mendapatkan daging korban maka yang lebih utama adalah tidak membawa hewan korban ke luar daerah.
Dalam al Mughni al Muhtaj 6/135, asy Syarbini mengutip perkataan al Asnawi “Para ulama membolehkan mentransfer sedekah nadzar ke luar daerah sedangkan korban itu bagian dari sedekah” lalu berkomentar, “Perkataan beliau tersebut tertolak karena daging hewan korban itu diharap-harap orang-orang miskin daerah setempat, di samping itu korban tersebut pelaksanaannya terikat dengan waktu sehingga lebih tepat jika dianalogkan dengan zakat.
Hewan qurban itu berbeda dengan nadzar dan kaffaroh yang tidak sensitif bagi perasaan orang-orang miskin. Oleh karena itu orang-orang miskin tidak menaruh banyak harapan pada nadzar dan kaffarah”.
Sedangkan jika daerah asal itu berlimpah orang kaya dan sedikit orang-orang miskin yang mengharapkan daging hewan korban padahal di daerah tujuan terdapat banyak orang miskin yang hati mereka itu perlu dihibur pada hari ini maka yang lebih baik adalah mentransfer hewan korban ke luar daerah dengan status bersedekah hewan, bukan sebagai hewan korban dari orang yang memberikan hewan tersebut.
Meskipun seandainya hewan tersebut ditransfer ke luar daerah dengan niat sebagai hewan korban juga dibolehkan. Hal ini berlaku untuk orang yang memiliki kelapangan rezeki sehingga orang tersebut juga tetap bisa menyembelih hewan korban di daerah tempat tinggalnya dengan hewan yang berbeda dengan hewan yang dia transferkan.
Andai ada orang yang ingin mengirimkan hewan korbannya dan korban keluarganya keluar daerah dengan niat sebagai hewan korban maka hukum masalah ini adalah turunan dari hukum shohibul qurban memakan sebagian daging hewan korban, wajib ataukah tidak.
Jika hal tersebut hukum wajib maka tidak boleh memindah hewan korban ke luar daerah, dalam kondisi semacam ini.
Sedangkan jika ukum shohibul qurban memakan sebagian daging korbannya adalah dianjurkan maka mengirim hewan korban keluar daerah adalah perbuatan yang kurang afdhol karena menyelisihi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau berkorban untuk anggota keluarga padahal ada sebagian kaum muslimin (di luar Madinah) yang dalam kondisi sangat membutuhkan meski demikian beliau tidak pernah mengirimkan hewan korban ke luar daerah.
Alasan lain yang menunjukkan bahwa perbuatan tadi itu kurang afdhol adalah menimbang bahwa hewan korban adalah syiar Idul Adha karenanya tidak selayaknya bagi orang yang berkecukupan untuk meninggalkannya atau memilih bersedekah dengan uang ataupun barang pada hari itu.
Menyembelih hewan korban pada saat itu adalah amal yang diperintahkan karena perbuatan ini adalah jalan menuju takwa.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS al Hajj:37)”.
[Tanwir al ‘Ainain bi Ahkam al Adhohi wa al ‘Iedain karya Syeikh Abul Hasan al Ma’ribi, terbitan Maktabah al Furqon cetakan pertama 1421, hal 490]

Jumat, 12 November 2010

Kajian Umum Madiun (14 November 2010): "POKOK-POKOK DAKWAH AHLUS SUNNAH"

Kajian Umum Madiun (14 November 2010): "POKOK-POKOK DAKWAH AHLUS SUNNAH"

Minggu, 07 November 2010

Ikrimah Bekas Budah Yang Menjadi Pakar Tafsir

Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” Nama beliau adalah ‘Ikrimah Al Qurosyi Al Hasyimi, bekas budak Ibnu ‘Abbas. Nama kunyah[1] beliau adalah Abu ‘Abdillah. Asal beliau dari Barbar, penduduk Maghrib. Beliau termasuk golongan tabi’in pertengahan. Beliau adalah seorang pakar tafsir terkemuka.[2] ‘Ikrimah memiliki sanad dari Ibnu ‘Amr, Ibnu ‘Abbas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Al Husain bin ‘Ali dan ‘Aisyah.
Dari Kholid As Sikhtiyani, dari ‘Ikrimah, beliau mengatakan, “Aku telah bertemu dengan ratusan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid ini (Masjid Nabawi).”
Ketika sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- meninggal dunia ‘Ikrimah masih menjadi seorang budak. Lalu Kholid bin Yazid bin Mu’awiyah membelinya dari ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas (anak Ibnu ‘Abbas). Kholid membelinya seharga 4000 dinar. Kemudian berita ini pun sampai pada ‘Ikrimah. Lantas ‘Ikrimah bersegera mendatangi ‘Ali –anak Ibnu ‘Abbas-, lalu berkata, “Apakah engkau menjual ilmu ayahmu sebesar 4000 dinar?” Kemudian ‘Ali menyerahkan ‘Ikrimah pada Kholid. Kholid pun akhirnya memerdekakan ‘Ikrimah.
Keadaan ‘Ikrimah Ketika Belajar dengan Ibnu ‘Abbas
Agar mau belajar Al Qur’an dan hadits, ‘Ikrimah dipaksa oleh Ibnu ‘Abbas dengan cara kakinya diikat.
Dari Az Zubair bin Al Khirrit –seorang tabi’in junior-, dari ‘Ikrimah, beliau mengatakan, “Ibnu ‘Abbas membelenggu kakiku, lalu beliau mengajariku Al Qur’an dan hadits Nabi.”
Penilaian Para Ulama Terhadap ‘Ikrimah
Dari Jabir bin Zaid –seorang tabi’in-, beliau mengatakan, “’Ikrimah adalah bekas budak Ibnu ‘Abbas. Dia adalah orang yang paling berilmu di antara manusia saat ini.”
Asy Sya’bi –seorang tabi’in- mengatakan, “Tidak ada manusia yang lebih memahami Kitabullah (Al Qur’an) selain ‘Ikrimah.”
Qotadah As Sadusi –seorang tabi’in- mengatakan, “Orang yang paling memahami tafsir di antara manusia saat ini adalah ‘Ikrimah.”
Nasehat Berharga dari ‘Ikrimah
Beliau memiliki nasehat agar kita bisa memiliki akhlaq yang mulia karena akhlaq mulia adalah landasan Islam. Ibrahim mengatakan dari ayahnya bahwa ‘Ikrimah berkata,
لِكُلِّ شَيْءٍ أَسَاسٌ، وَأَسَاسُ الإِسْلاَمِ الخُلْقُ الحَسَنُ.
Segala sesuatu memiliki landasan (asas). Sedangkan asas Islam adalah husnul khuluq (akhlaq yang luhur).”
Wafat Beliau
‘Ikrimah meninggal dunia di Madinah dalam usia 80 tahun. Beliau meninggal tahun 104 H. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau meninggal tahun 105, 106, atau 107 H.
Ketika beliau meninggal dunia, manusia pun mengatakan, “Orang yang paling faqih dan paling berilmu telah meninggal dunia.”
[Diolah dari Shifatush Shofwah, Ibnul Jauziy, 2/103-105, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1399 H]

Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan ba’da shalat Zhuhur, di Panggang - Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H



[1] Nama kunyah adalah nama yang didahului “Abu” atau “Ummu”, ada pula yang mengatakan “Ibnu”.
[2] Lihat Rowatut Tahdzib, Asy Syamilah

Khuruj bersama Jama’ah Tabligh

Berikut ini adalah kutipan dari dua fatwa ulama ahli sunnah tentang hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh. Yang pertama adalah fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz sedangkan yang kedua adalah fatwa Syaikh Shalih al Fauzan.
جماعة التبليغ ، والصلاة في المساجد التي فيها قبور
س : سؤال من : م . ع- من أمريكا يقول : خرجت مع جماعة التبليغ للهند والباكستان ، وكنا نجتمع ونصلي في مساجد يوجد بها قبور ، وسمعت أن الصلاة في المسجد الذي يوجد به قبر باطلة فما رأيكم في صلاتي وهل أعيدها؟ وما حكم الخروج معهم لهذه الأماكن؟
Jamaah Tabligh dan Shalat di Masjid yang di Dalamnya Terdapat Kuburan
Pertanyaan dari seseorang yang berdomisili di Amerika
Penanya mengatakan, “Aku ikut khuruj bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan. Kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan. Aku pernah mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan itu tidak sah. Apa pendapatmu tentang shalatku, apakah aku perlu mengulanginya? Apa hukum ikut khuruj bersama mereka ke tempat-tempat semisal ini?
ج : بسم الله ، والحمد لله ، أما بعد :
جماعة التبليغ ليس عندهم بصيرة في مسائل العقيدة فلا يجوز الخروج معهم إلا لمن لديه علم وبصيرة بالعقيدة الصحيحة التي عليها أهل السنة والجماعة حتى يرشدهم وينصحهم ويتعاون معهم على الخير ؛ لأنهم نشيطون في عملهم ، لكنهم يحتاجون إلى المزيد من العلم ، وإلى من يبصرهم من علماء التوحيد والسنة .
رزق الله الجميع الفقه في الدين والثبات عليه .
Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Bismillah wal Hamdu lillah. Amma Ba’du.
Jamaah Tabligh itu tidak memiliki ilmu tentang berbagai permasalahan akidah. Oleh karena itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang akidah yang benar. Itulah akidah ahli sunnah wal jamaah. Dengan demikian orang tersebut bisa membimbing dan menasehati mereka serta bisa tolong menolong bersama mereka dalam kebaikan.
Mereka adalah orang-orang yang bersemangat dalam kerja dakwah namun mereka memerlukan tambahan ilmu. Mereka juga memerlukan ulama yang faham tentang tauhid dan sunnah yang bisa mengajari mereka.
Moga Allah memberikan kepada semuanya pemahaman yang baik tentang agama dan konsisten dengannya.
أما الصلاة في المساجد التي فيها القبور فلا تصح ، والواجب إعادة ما صليت فيها ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد متفق على صحته ،
Shalat yang dikerjakan di dalam masjid yang ada kuburan di dalamnya itu tidak sah. Anda memiliki kewajiban untuk mengulangi shalat yang telah anda lakukan di dalam masjid tersebut. Dalam masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah itu melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR Bukhari dan Muslim).
وقوله صلى الله عليه وسلم : ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك أخرجه مسلم في صحيحه . والأحاديث في هذا الباب كثيرة .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم .
Dalil yang lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ingatlah, orang-orang sebelum kalian itu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah janganlah kalian jadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Sungguh aku melarang hal tersebut” (HR Muslim). Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali”.
نشرت في مجلة الدعوة في العدد ( 1438 ) بتاريخ 3 / 11 / 1414 هـ .
Fatwa ini pertama kali dipublikasikan di majalah ad Dakwah edisi 1438 tanggal 3 Dzulqa’dah 1414 H [Fatwa Syaikh Ibnu Baz ini ada di Majmu al Fatawa wa al Maqolat al Mutanawi’ah jilid 8 hal 331. Bisa juga dilihat di buku Kasyfu as Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 68-69].
Dari fatwa ini kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran:
1. Hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu pada asalnya haram kecuali seorang yang berilmu (baca: ustadz salafy) yang diharapkan bisa membimbing mereka kepada akidah dan cara beragama yang benar.
2. Tolong menolong atau kerja sama dengan Jamaah Tabligh asalkan dalam kebaikan itu diperbolehkan. Namun ingat tolak ukur kebaikan itu timbangan syariah, bukan sekedar perasaan.
3. Dalam fatwa di atas Ibnu Baz memuji Jamaah Tabligh dalam sisi semangat dalam kerja dakwah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pujian kepada kelompok yang dinilai sesat itu terlarang tanpa terkecuali. Yang benar hukum tindakan semacam ini tergantung motif dan konteks pembicaraan.
4. Sisi kebaikan yang dimiliki sebuah kelompok ‘bermasalah’ tidaklah menghalangi kita untuk mengingatkan orang lain terhadap bahaya kelompok tersebut. Dalam fatwa di atas, sisi kebaikan yang ada pada Jamaah Tabligh tidak menghalangi Ibnu Baz untuk melarang khuruj bersama mereka bagi orang yang tidak memiliki ilmu.
و المقصود جماعة التبليغ التي شغلت الناس في هذا الزمان و هي جماعة ضالة في معتقدها و منهجها و نشأتها كما وضح ذلك الخبيرون بها مما تواتر عنهم مما لا يدع مجالا للشك في ضلال هذه الجماعة و تحريم مشاركتها و مساعدتها و الخروج معها فيجب على المسلمين الحذر منها و التحذير منها.
Syaikh Shalih al Fauzan mengatakan, “Intinya, Jamaah Tabligh yang telah menyita perhatian banyak orang di zaman ini adalah kelompok yang sesat dalam akidah, jalan beragama dan awal tumbuhnya sebagaimana penjelasan orang-orang yang benar-benar mengetahui mereka. Penjelasan para pakar dalam hal ini banyak sekali. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi tersisa ruang untuk meragukan kesesatan kelompok ini. Haram hukumnya berperan serta dan membantu acara-acara mereka serta khuruj bersama mereka. Seluruh kaum muslimin memiliki kewajiban untuk mewaspadai mereka dan mengingatkan orang lain agar tidak mengikuti mereka” (Kata pengantar Syaikh Shalih al Fauzan untuk buku Kasyfu al Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 5).
Dari penjelasan Syaikh Shalih al Fauzan ini kita bisa membuat kesimpulan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh menurut beliau haram secara mutlak. Kita simpulkan demikian, karena beliau tidak memberi pengecualian.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu diperselisihkan, ada yang melarang secara mutlak semisal Syaikh Shalih al Fauzan atau memberi pengecualian dalam kondisi tertentu sbagaimana penjelasan Ibnu Baz.
Oleh karena itu dalam masalah ini dan yang semisal hendaknya kita tidak memakai ‘kaca mata kuda’ sehingga menilai masalah yang diperselisihkan di antara para ulama ahli sunnah sebagaimana masalah yang menjadi konsesus semua ulama ahli sunnah.

Rabu, 03 November 2010

Doa Qunut Ketika Subuh

Tanya:
Assalamu’alaikum Wr Wb
Apakah Rasul baca doa qunut bila shalat shubuh sepanjang hayat? Kapan beliau berqunut? Mohon penjelasan dengan dasar hadits shahih lengkap!

P. Mul 0274 782xxxx
Jawab:
Pertanyaan senada pernah dilayangkan kepada Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau ditanya,
“Apakah disyariatkan menggunakan doa qunut witir (yaitu allahummahdini fiman hadaita …) pada rakaat terakhir shalat shubuh?!”
Jawaban beliau,
“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”
(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).

Mantan Budak di Mata Singa

عَنِ ابْنِ الْمُنْكَدِرِ ، أَنَّ سَفِينَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْطَأَ الْجَيْشَ بِأَرْضِ الرُّومِ ، أَوْ أُسِرَ فِي أَرْضِ الرُّومِ ، فَانْطَلَقَ هَارِبًا يَلْتَمِسُ الْجَيْشَ ، فَإِذَا هُوَ بِالأَسَدِ ، فَقَالَ لَهُ : أَبَا الْحَارِثِ ، إِنِّي مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ أَمْرِي كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَأَقْبَلَ الأَسَدُ لَهُ بَصْبَصَةٌ حَتَّى قَامَ إِلَى جَنْبِهِ كُلَّمَا سَمِعَ صَوْتًا ، أَهْوَى إِلَيْهِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ يَمْشِي إِلَى جَنْبِهِ ، فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى بَلَغَ الْجَيْشَ ، ثُمَّ رَجَعَ الأَسَدُ
Dari Ibnu al Munkadir, sesungguhnya Safinah-bekas budak Rasulullah-kehilangan jejak rombongan pasukannya ketika berada di negeri Romawi atau beliau tertawan di negeri Romawi lalu beliau kabur mencari rombongan pasukan tersebut. Tiba-tiba beliau bertemu dengan seekor singa. Beliau berkata kepada sang singa, “Wahai singa-dalam bahasa Arab singa disebut juga Abul Harits-, aku adalah bekas budak Rasulullah. Aku sedang mengalami kondisi demikian dan demikian. Sang singa pun mendekati Safinah sambil mengibas-ibaskan ekornya. Akhirnya sang singa berdiri di samping Safinah. Setiap kali mendengar suara, singa tersebut mendekat. Akhirnya singa tersebut berjalan bersebelahan dengan Safinah sampai berjumpa dengan rombongan pasukan. Setelah itu, sang singa pun kembali ke tempatnya [Syarh Sunnah karya al Baghawi jilid 13 hal 313 no hadits 3732].
Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Para perawinya adalah para perawi yang tsiqah (kredibel) akan tetapi Ibnul Munkadir tidaklah mendengar (riwayat) dari Safinah. Riwayat ini juga terdapat dalam al Mushannaf no 20544. Redaksi semisal juga diriwayatkan oleh al Hakim 3/606, dinilai shahih oleh al Hakim dan penilaian al Hakim disetujui oleh Dzahabi. Hadits ini juga disebutkan oleh Suyuthi dalam al Khashaish. Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Saad, Abu Ya’la, al Bazzar, Ibnu Mandah, al Baihaqi dan Abu Nu’aim” [Syarh al Sunnah karya al Husain bin Mas’ud al Baghawi tahqiq Syu’aib al Arnauth jilid 13 hal 313, terbitan al Maktab al Islamy Beirut, cetakan kedua 1403 H].
Al Albani mengatakan, “Al Hakim dalam 3/606 juga meriwayatkan dengan redaksi yang semisal. Al Hakim mengatakan, “Shahih menurut kriteria Muslim”. Penilaian dari al Hakim ini juga disetujui oleh Dzahabi dan benarlah apa yang dikatakan oleh keduanya” [Misykah al Mashabih karya Muhammad bin Abdullah al Khatib al Tibrizi tahqiq al Albani jilid 3 hal 1676 no hadits 5949, terbitan al Maktab al Islamy, cetakan kedua tahun 1399].
Hadits di atas menceritakan sebuah kejadian yang dialami oleh Safinah-dalam bahasa Arab bermakna perahu-yang merupakan gelaran untuk seorang bernama Mahran, kun-yahnya adalah Abu Abdurrahman.
Dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah, Ummu Salamah membeliku lalu membebaskan diriku dari perbudakan. Aku membuat perjanjian dengan Ummu Salamah bahwa aku mau merdeka asalkan aku tetap diperbolehkan untuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama aku masih hidup. Aku katakan, “Aku tidak ingin berpisah dengan Nabi selama aku masih hidup” [Shifah al Shofwah karya Ibnul Jauzi jilid 1 hal 671, terbitan Dar Al Ma’rifah Beirut, cetakan ketiga 1405 H].
Tentang asal muasal gelar safinah yang beliau sandang, penjelasannya ada dalam riwayat berikut ini:
عن سَعِيد بْنُ جُمْهَانَ ، عَنْ سَفِينَةَ ، قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ، فَكُلَّمَا أَعْيَا بَعْضُ الْقَوْمِ أَلْقَى عَلَيَّ سَيْفَهُ وَتُرْسَهُ وَرُمْحَهُ ، حَتَّى حَمَلْتُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا كَثِيرًا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتَ سَفِينَةُ.
Dari Sa’id bin Jumhan, dari Safinah, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Jika ada anggota rombongan yang kecapekan maka dia meminta aku untuk membawakan pedang, tameng ataupun tombaknya. Sehingga aku membawa beban muatan yang cukup banyak”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Engkau adalah safinah alias perahu” (HR Ahmad no 21975. Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Sanadnya berkualitas hasan”).
Pelajaran terpenting dari hadits di atas adalah adanya karomah (kejadian luar biasa) yang dialami oleh orang-orang yang shaleh.
Terkait dengan karomah untuk hamba-hamba Allah yang shaleh ada tiga sikap manusia. Ada dua sikap salah dan satu sikap yang benar.
Dua sikap yang salah adalah:
Pertama, sikap sebagian orang bahwa semua kejadian luar biasa adalah karomah meski orang tersebut jauh dari ajaran agama. Mereka meyakini bahwa kejadian luar biasa yang dialami oleh orang yang tidak pernah shalat dan tidak pernah berpuasa adalah karomah padahal itu adalah kejadian luar biasa dari bantuan setan jin. Demikian pula, sebagian orang over dosis dalam menghormati dan memuliakan orang shaleh yang memiliki karomah sampai-sampai dipertuhankan. Kuburnya didatangi untuk dimintai kelancaran rezeki, keturunan dll.
Kedua, adalah keyakinan Mu’tazilah yang mengingkari adanya kejadian luar biasa pada diri seorang hamba Allah yang saleh karena mereka beranggapan bahwa kejadian luar biasa hanya bisa dialami oleh para nabi. Tentu ini adalah anggapan yang tidak benar. Yang benar, kejadian luar biasa yang berasal dari anugerah Allah itu bisa dialami oleh para nabi dan bisa dialami orang-orang yang saleh.
Sedangkan sikap yang benar adalah meyakini adanya berbagai kejadian luar biasa. Jika hal itu dialami oleh nabi disebut mu’jizat. Jika dialami oleh manusia saleh yang bukan nabi disebut karomah. Jika dialami oleh orang jauh dari ketaatan kepada Allah maka itu adalah bagian dari ahwal syaithaniyyah alias bantuan setan. Mereka itulah para dukun yang memiliki khadam atau dalam bahasa jawa disebut dengan rewang yang hakikatnya adalah setan jin yang dipuja oleh para dukun.
Jadi tolak ukur yang membedakan antara ahwal syaithaniyyah dengan karomah adalah kondisi orang yang memilikinya. Jika amal perbuatan tersebut sesuai dengan ajaran Islam maka kejadian luar biasa yang dia alami adalah karomah. Jika tidak maka itulah bantuan setan.
Artikel www.ustadzaris.com